Tuesday, September 7, 2010

Ayah, Ibu dan Perkahwinan Anak

Ayah dan ibu,

Kalian semua adalah insan yang mulia di dunia ini. Kalian telah diberikan rezeki yang banyak oleh Allah S.W.T. seperti harta kekayaan dan anak-anak yang soleh. Tetapi adakah kalian pernah memikirkan apa perasaan anak-anak kalian yang sudah dewasa. Mereka juga ingin menjadi seperti kalian. Mereka juga ingin berkahwin dan mendirikan rumah tangga sendiri. Mengapakah adanya halangan daripada ibu dan ayah dalam hal ini? Tidakkah ibu dan ayah suka untuk melihat anak-anak mereka juga bahagia?

Jadi, Mengapakah kalian menahan anak-anak kalian untuk berkahwin dengan berbagai alasan. Sebagai contoh kerana masih lagi belajar? Tidakkah anda tahu bahawa perkara ini bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Nabi S.A.W. Adakah ibu dan bapa lebih besar daripada Nabi dalam perkara ini? Lihatlah hadis berikut:

Dalam sebuah Majlis Rasulullah bersabda :

“Jika datang kepada kalian (wahai calon mertua) orang yang kalian sukai (ketaatan) agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu). Sebab, jika kamu sekalian tidak melakukannya, akan lahir fitnah (bencana) dan akan berkembang kehancuran yang besar di muka bumi”.

Kemudian ada yang bertanya :

“Wahai Rasulullah bagaimana jika orang (pemuda) itu mempunyai (cacat atau kekurangan-kekurangan)?

Maka Rasulullah menjawab (mengulangnya tiga kali) :

“Jika datang pada kalian orang yang bagus agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia (dengan putrimu)! (HR Imam Tirmidzi dan Abu Hatim Al-Mazni)

Berdasarkan hadis ini tiada alasan untuk menolak perkahwinan sekiranya seorang lelaki yang mulia agama dan akhlaknya datang untuk meminang anak-anak kalian. Tiadapun Nabi menyebut sekiranya anak itu masih lagi belajar, maka tangguhkanlah perkahwinan itu sehingga dia tamat pengajian. Apa yang Nabi tekankan dalam hal ini adalah agama dan akhlak yang baik. Sekiranya baik kedua-duanya maka hendaklah kalian sebagai ayah dan ibu menerima lamaran itu dengan sebaiknya.

Ayah dan ibu,

Mari kita sama-sama lihat apa yang dikatakan oleh imam-imam besar apabila ditanya berkenaan dengan perkara ini:

1)

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saudari berinisial MZ dari kota Thanjah di Maroko menghantarkan suratnya yang menyatakan keinginan untuk mengetahui pandangan Islam di dalam masalah yang sedang ia hadapi, seraya berkata : "Ketika masih kecil saya sangat bahagia sekali dan banyak teman-teman yang iri karena kebahagian itu sampai saya menjadi remaja yang layak menikah.

Kemudian ada sebagian lelaki yang ingin menikah datang ke rumah kami untuk melamar saya, namun kedua orang tua saya menolaknya dengan alasan saya harus menyelesaikan study. Saya sudah sering berupaya meyakinkan kepada mereka bahwa saya mahu menikah, dan (saya jelaskan) bahwa menikah tidak akan menggangu study saya, namun mereka tetap bersikap keras menolak untuk merestuinya.

Lalu, apakah boleh saya menikah tanpa persetujuan mereka berdua ? Jika tidak, apa yang harus saya lakukan ? Berilah saya jawabnya, semoga Allah berbelas kasih kepada Syaikh.

Jawapan:
Tidak diragukan lagi bahwa penolakan kedua orang tua anda untuk menikahkan anda dengan orang yang baik adalah merupakan perbuatan haram, (sebab) menikah itu lebih penting daripada sekolah dan juga tidak mengenepikan sekolah, karena dapat dipadukan. Maka dalam keadaan seperti ini boleh anda menghubungi Pusat Pengadilan Agama untuk menyampaikan apa yang telah terjadi, dan keputusan pada mereka (Pusat Pengadilan itu). (Kalau Pusat Pengadilan Agama menyetujui anda menikah, maka boleh anda menikah tanpa persetujuan kedua orang tua, -pent)

[Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin, Jilid 2, hal 754]

[Disalin dari Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juarisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

2)

Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ada suatu tradisi yang membudaya, yaitu perempuan atau orang tuanya menolak lamaran orang yang melamarnya karena alasan ingin menyelesaikan sekolahnya di SMU atau Perguruan Tinggi, atau bahkan karena anak (perempuan) ingin belajar beberapa tahun lagi. Bagaimana hukum masalah ini, apa nasihat Syaikh kepada orang-orang yang melakukan hal seperti itu, yang kadang-kadang anak perempuan itu sampai berusia 30 tahun belum menikah.

Jawapan:
Hukumnya adalah bahwa hal seperti itu
bertentangan dengan perintah Rasulullah صلی الله عليه وسلم, sebab beliau bersabda.

"Artinya : Apabila datang (melamar) kepada kamu lelaki yang kamu ridhai akhlak dan (komitmennya kepada) agamanya, maka kawinkanlah ia (dengan putrimu).

"Artinya : Wahai sekalian pemuda, barangsiapa diantara kamu yang mempunyai kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu lebih dapat menahan pandangan mata dan lebih menjaga kehormatan diri"

Tidak mahu menikah itu berarti menyia-nyiakan maslahat pernikahan. Maka nasihat saya kepada saudara-saudaraku kaum Muslimin, terutama mereka yang menjadi wali bagi putri-putrinya dan saudari-saudariku kaum Muslimat, hendaklah tidak menolak nikah (perkawinan) dengan alasan ingin menyelesaikan study atau ingin mengajar.

Perempuan boleh saja minta syarat kepada calon suami, seperti mahu dinikahi tetapi dengan syarat tetap diperbolehkan belajar (meneruskan study) hingga selesai, demikian pula (kalau sebagai guru) mahu dinikahi dengan syarat tetap menjadi guru sampai satu atau dua tahun, selagi belum sibuk dengan anak-anaknya. Yang demikian itu boleh-boleh saja, akan tetapi ada sahaja perempuan yang mempelajari ilmu pengetahuan di Perguruan Tinggi yang tidak mahukan. Ini merupakan masalah yang masih perlu diulang kaji.

Menurut pendapat saya bahwa apabila perempuan telah tamat Tingkat Dasar (SD) dan mampu membaca dan menulis dengannya ia dapat membaca Al-Qur'an dan tafsirnya, dapat membaca hadits dan penjelasannya (syarahnya), maka hal itu sudah cukup, kecuali kalau untuk mendalami suatu disiplin ilmu yang memang diperlukan oleh ummat, seperti kedoktoran (kebidanan, -pent-) dan lainnya, apabila di dalam studynya tidak terdapat sesuatu yang terlarang, seperti ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) atau hal lainnya.


[ As'illah Muhimmah Ajaba 'Anha Syaikh Ibnu Utsaimin, hal 26-27]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 398-399 Darul Haq]

3)

Pertanyaan.

Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apabila ada seorang lelaki yang datang untuk meminang seorang gadis, akan tetapi walinya (ayahnya) menolak dengan maksud agar putrinya tidak menikah, maka bagaimana hukumnya ?

Jawapan:
Seharusnya para wali segera mengawinkan putri-putrinya apabila dipinang oleh laki-laki yang setara, apalagi jika mereka juga ridha. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda.

"Artinya : Apabila datang kepada kamu orang yang kamu ridhai agama dan akhlaknya untuk meminang (putrimu) makan kawinkanlah ia, sebab jika tidak, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi ini dan malapetaka yang sangat besar".[Riwayat At-Turmudzi, dan Ibnu Majah. Hadits ini adalah hadits Mursal, namun ada hadits lain sebagai syahidnya diriwayatkan oleh At-Turmudzi]

Dan tidak boleh menghalangi mereka menikah karena supaya menikah dengan lelaki lain dari anak temannya atau lainnya yang tidak mereka suka, ataupun karena ingin mendapat harta kekayaan yang lebih banyak, ataupun karena untuk tujuan-tujuan murahan lainnya yang tidak dibenarkan oleh syari'at Allah dan Rasul-Nya.

Kewajiban waliul amr (ulama dan umara) adalah bertindak tegas orang yang dikenal sebagai penghalang perempuan untuk menikah dan memperbolehkan para wali lainnya yang lebih dekat kepada sang putri untuk menikahkannya sebagai penegakan keadilan dan demi melindungi pemuda dan pemudi agar tidak terjerumus ke dalam apa yang dilarang oleh Allah (zina) yang timbul karena kezaliman dan tindakan para wali menghalang-halangi mereka untuk menikah.

Kita memohon kepada Allah, semoga memberikan petunjukNya kepada semua dan lebih mendahulukan kebenaran atas kepentingan hawa nafsu.

[Kitabud Da'wah, hal 165, dan Fatawa Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Penyusun Khalid Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Amir Hamzah dkk, Penerbit Darul Haq]

Ayah dan ibu,

Sekiranya anak-anak berkahwin semasa masih belajar ianya tidak bermakna mereka akan meninggalkan pelajaran mereka setelah berkahwin. Bahkan perkahwinan akan memudahkan lagi perjalanan mereka dalam menuntut ilmu. Ini kerana, anak-anak mungkin akan terganggu dengan berbagai masalah dalam kehidupan mereka sebelum berkahwin. Sebagai contoh, anak-anak yang belajar di luar Negara mungkin akan berasa keseorangan apabila berada jauh daripada ayah dan ibu, mereka mungkin akan diganggu oleh laki-laki, dan tidak ada orang yang akan menegur mereka sekiranya melakukan kesalahan. Perkara-perkara seperti ini akan menyebabkan kesulitan dalam perjalanan menuntut ilmu anak-anak kalian. Sekiranya anak-anak sudah berkahwin maka perkara seperti ini dapat dielakkan kerana mereka mempunyai teman hidup yang dapat saling tegur menegur dan nasihat menasihati antara satu sama lain dan melindungi anak-anak kalian.

Ayah dan ibu,

Mungkin kalian berkahwin setelah tamat belajar. Tetapi kalian tidak perlulah untuk menahan anak-anak kalian daripada berkahwin ketika masih belajar supaya mereka mengikut jejak langkah kalian. Mungkin pada zaman anda itu lebih sesuai untuk berkahwin setelah tamat belajar. Tetapi pada hari, pada zaman ini dengan berbagai masalah sosial dikalangan remaja, perkahwinan itu hendaklah dilangsungkan sekiranya anak-anak telah bertemu jodoh masing-masing.

Ayah dan ibu,

Cubalah kalian mendalami perasaan anak-anak kalian. Mungkin ada dikalangan anak-anak yang menyembunyikan perasaan mereka kerana tidak ingin ayah dan ibu risaukan pasal mereka. Tetapi pada hakikatnya ada anak-anak yang sering menangis kerana tidak mampu untuk memberitahu keinginan mereka kepada ayah dan ibu. Kerana mereka takut ayah dan ibu akan menentang keras permintaan mereka itu dan mereka tidak mahu melawan cakap ayah dan ibu. Jadi sebagai sesama manusia yang mempunyai hati dan perasaan fahamilah perasaan anak-anak kalian wahai ayah dan ibu.

Sekian, semoga sama-sama kita mendapat manfaat daripada penulisan ini.

Oleh,

Seorang insan bergelar anak.