Sunday, November 27, 2011

Bersediakah Anda Menjadi Suami?

Ditulis oleh Kapten Hafiz Firdaus Abdullah
Monday, 26 September 2011


Kebiasaan masyarakat kita apabila disebut persediaan menjadi suami, mereka menyangka ia adalah memiliki sijil pengajian tinggi, paling kurang diploma. Sudah memiliki kerjaya dengan gaji bulanan minima RM2500, diikuti dengan sebuah rumah dan kereta. Tidak ketinggalan, wang tunai berjumlah RM30,000 untuk urusan perkahwinan seperti duit hantaran, dulang-dulang hantaran, cincin dan belanja kenduri kahwin. Jika seorang lelaki belum memiliki semua ini, dia belum layak untuk bergelar suami.

Namun dalam Islam, ukuran persediaan untuk menjadi suami bukanlah seperti di atas. Persediaan untuk menjadi suami lebih tertumpu kepada kualiti lelaki tersebut dan inilah yang akan diperincikan dalam kolum bulan ini.




Kepimpinan.

Persediaan terpenting ialah bakal suami perlu mengetahui bahawa dia memiliki tanggungjawab sebagai pemimpin ke atas keluarganya. Allah berfirman: Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan. [al-Nisa’ 4:34]



Sebagai pemimpin, bakal suami hendaklah memiliki ilmu rumahtangga, akhlak yang menterjemah teori kepada praktikal, disiplin yang tinggi serta wawasan yang luas. Jika sebelum ini pernah menjadi pemimpin, seperti pemimpin kelab, persatuan, rombongan atau jabatan, maka ia adalah pengalaman yang boleh dikembangkan dalam kepimpinan rumahtangga.

Bagi yang belum pernah, maka alam rumahtangga adalah suasana yang baik untuk mula melatih diri menjadi pemimpin. Terasa sukar? Jangan bimbang. Lantiklah isteri anda menjadi timbalan pemimpin untuk bersama-sama saling membantu mengemudi bahtera rumahtangga.

Di sini perlu diingatkan bahawa kepimpinan anda sentiasa dicatit markahnya oleh malaikat di bahu kanan dan kiri. Oleh itu berwaspadalah, jangan menjadi pemimpin yang ego dan zalim. Setiap langkah dan ciri kepimpinan anda akan dipersoalkan semula oleh Allah pada Hari Akhirat kelak.



Ketegasan.

Lanjutan dari ciri seorang pemimpin, bakal suami hendaklah tegas dalam membimbing isteri. Kelak apabila dianugerahkan cahaya mata, suami juga hendaklah tegas dalam membimbing anak-anak. Allah mengingatkan:

Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya ada di antara isteri-isteri kamu dan anak-anak kamu yang menjadi musuh bagi kamu; oleh itu awaslah serta berjaga-jagalah kamu terhadap mereka.

Dan kalau kamu memaafkan dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka (maka Allah akan berbuat demikian kepada kamu), kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Taghabun 64:14]

Oleh itu dalam institusi perkahwinan, suami adalah pemimpin dan bukan yang dipimpin, penjaga dan bukannya dijaga serta pengawal dan bukannya dikawal. Namun ketegasan bukanlah bererti bengis dan menakutkan, sebaliknya hendaklah bersikap …memaafkan dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka.



Pemelihara Dari Api Neraka.

Suami merupakan pemelihara agar ahli keluarga tidak masuk ke dalam api neraka. Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: Manusia dan batu (berhala); Neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan. [al-Tahrim 66:06]

Justeru anda perlu melengkapkan diri dengan ilmu-ilmu agama dan seterusnya mendidik ahli keluarga serta memastikan mereka mempraktikannya. Lebih penting, anda hendaklah paling kehadapan dalam mempraktikkan ilmu-ilmu agama tersebut. Jangan sekadar menyuruh ahli keluarga mendirikan solat tetapi anda tidak solat, jangan sekadar menyuruh ahli keluarga menutup aurat tetapi anda mendedahkan aurat. Allah memberi amaran:

Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu memperkatakan apa yang kamu tidak melakukannya! Amat besar kebenciannya di sisi Allah kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak melakukannya. [al-Saff 61:2-3]



Memberi Nafkah.

Termasuk persediaan menjadi suami ialah kesedaran bahawa anda merupakan sumber kewangan rumahtangga. Justeru anda bertanggungjawab menyediakan nafkah tempat tinggal, keperluan asas dalam tempat tinggal, pakaian, makanan dan minuman kepada ahli keluarganya. Anda juga bertanggungjawab ke atas kesihatan dan perubatan ahli keluarga seandainya mereka jatuh sakit.

Meskipun nafkah rumahtangga berada di atas bahu suami, ini tidaklah bererti suami mesti memiliki pendapat minima yang tertentu jumlahnya. Setiap suami memiliki kemampuan kewangan yang berbeza dan setiap suami berbelanja untuk ahli keluarganya pada kadar kemampuannya. Tidak ada nilai minimum atau maksimum untuk kadar nafkah ini.

Allah berfirman: Hendaklah orang (suami) yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan sesiapa yang di sempitkan rezekinya, maka hendaklah dia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar yang mampu). [al-Thalaq 65:07]

Demikianlah beberapa kualiti yang perlu ada pada seorang lelaki untuk dia menjadi seorang suami. Perhatikan bahawa kualiti-kualiti ini tidak ada ukuran minimum dan maksimum atau batasan tertentu bagi menentukan layak atau tidak. Ia adalah kualiti yang nilainya relatif, ia akan bertambah apabila anda berusaha untuk memperbaikinya dan akan berkurang apabila anda mengabaikannya.

Justeru lelaki yang sudah bersedia menjadi suami ialah lelaki yang mengetahui kualiti-kualiti ini, memilikinya dan berazam untuk terus memperbaikinya.

Wednesday, November 16, 2011

Jilbab Menurut Islam, Kristen Dan Yahudi: Mitos Dan Realita

Marilah kita buka satu persoalan yang di negara-negara Barat dianggap sebagai simbol dari penindasan dan perbudakan wanita, yaitu jilbab atau tudung kepala. Apakah betul tidak terdapat pembahasan mengenai jilbab di dalam tradisi Jahudi-Kristen ? Mari kita lihat bukti catatan yang ada. Menurut Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Beliau disana mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: "Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala" dan "Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut isterinya terlihat," dan "Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan."


Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap "telanjang". Dr. Brayer juga mengatakan bahwa "Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut."

Dr. Brayer juga menerangkan bahwa jilbab bagi wanita Yahudi bukanlah selalu sebagai simbol dari kesopanan. Kadang-kadang, jilbab justru menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya ketimbang ukuran kesopanan. Jilbab atau tudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Jilbab juga diartikan sebagai penjagaan terhadap hak milik suami.

Jilbab menunjukkan suatu penghormatan dan status sosial dari seorang wanita. Seorang wanita dari golongan bawah mencoba menggunakan jilbab untuk memberikan kesan status yang lebih tinggi. Jilbab merupakan tanda kehormatan. Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237). Wanita-wanita Yahudi di Eropa melanjutkan menggunakan jilbab sampai abad ke sembilan belas hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Tekanan eksternal dari kehidupan di Eropa pada abad sembilan belas memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala.

Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi) (S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239). Sementara beberapa dari mereka. seperti sekte Hasidic, masih menggunakan rambut palsu (Alexandra Wright, 19??, hal 128-129).

Bagaimanakah jilbab menurut tradisi Kristen?


Kita sendiri menyaksikan sampai hari ini bahwa para Biarawati Katolik menutup kepalanya yang suruhannya sebetulnya telah ada semenjak empat ratus tahun yang lalu. Tetapi bukan hanya itu, St. Paul (atau Paulus) dalam Perjanjian Baru, I Korintus 11:3-10, membuat pernyataan-pernyataan yang menarik tentang jilbab sebagai berikut: "Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan kepala Kristus adalah Allah. Tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga mengguting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan dicipt akan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena malaikat". (I Korintus 11:3-10).

St. Paul memberikan penalaran tentang wanita yang berjilbab atau berkerudung adalah bahwa jilbab memberikan tanda kekuasaan pada laki-laki, yang merupakan gambaran kebesaran Tuhan, atas wanita yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. St. Tertulian di dalam risalahnya "On The Veiling Of Virgins" menulis: "Wanita muda hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu."

Di antara hukum-hukum Canon pada Gereja Katolik dewasa ini, ada hukum yang memerintahkan wanita menutup kepalanya di dalam gereja (Clara M Henning, 1974, hal 272). Beberapa golongan Kristen, seperti Amish dan Mennoties contohnya, mereka hingga hari ini tetap mengenakan tutup kepala. Alasan mereka mengenakan tutup kepala, seperti yang dikemukakan pemimpin gerejanya adalah: "Penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan," logika yang sama seperti yang ditulis oleh St. Paul dalam Perjanjian Baru (D. Kraybill, 1960, hal 56).

Dari semua bukti-bukti di atas, nyata bahwa Islam bukanlah agama yang mengada-adakan dan mewajibkan penutup kepala, tetapi Islam telah mendukung hukum tersebut. Al Qur'an memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Juga memerintahkan wanita beriman agar memanjangkan penutup kepalanya sampai menutupi leher dan dadanya.

"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat..... Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya..." (An Nuur:30,31)

Di dalam Al Qur'an jelas tertulis bahwa kerudung sangat penting untuk menutup aurat. Mengapa aurat itu penting ? Hal itu dijelaskan dalam Al Qur'an surat Al Ahzab 59: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." (Al Ahzab:59)

Pada intinya, kesederhanaan digambarkan untuk melindungi wanita dari gangguan atau mudahnya, kesederhanaan adalah perlindungan.

Jadi, tujuan utama dari jilbab atau kerudung di dalam Islam adalah perlindungan. Kerudung di dalam Islam tidak sama seperti di dalam tradisi Kristen dimana merupakan tanda bahwa martabat laki-laki berada di atas wanita dan merupakan simbolisasi tunduknya wanita terhadap laki-laki. Kerudung di dalam Islam juga bukan seperti di dalam tradisi Yahudi dimana kerudung merupakan tanda keagungan dan tanda pembeda sebagai wanita bangsawan yang menikah. Kerudung di dalam Islam hanya sebagai tanda kesederhanaan dengan tujuan melindungi wanita, tepatnya semua wanita. Pada falsafah Islam dikenali prinsip bahwa selalu lebih baik menjaga daripada menyesal kemudian. Al Qur'an sangat
memperhatikan wanita dengan menjaga tubuh mereka dan kehormatan mereka atas pernyataan laki-laki yang berani menuduh ketidaksucian seorang wanita, mereka akan mendapat balasan;

"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (mereka yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An Nuur 4)

Bandingkan sikap Al Qur'an yang sangat tegas, dengan hukuman yang sangat longgar bagi pemerkosa di dalam Injil:

"If a man find a damsel that is a virgin, which is not betrothed, and there was none to save her. Then the man that lay with her shall give unto the damsel's father fifty shekels of silver, and she shall be his wife; because he hath humbled her, he may not put her away all his days" (Deut. 22:28-29).

Terjemahannya:
"Jika seorang laki-laki menemui seorang gadis yang tidak dijanjikan untuk dinikahkan kemudian memperkosanya, dia harus membayar sebesar lima puluh shekels perak kepada ayah gadis itu. Laki-laki itu harus menikahi gadis tersebut karena perbuatannya dan dia tidak boleh menceraikannya selama hidupnya" (Ulangan. 22:28-29).

Patut ditanyakan, siapa yang sebenarnya dihukum dalam hal ini? Orang yang membayar denda karena telah memperkosa ataukah gadis yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang memperkosanya dan harus tinggal bersamanya sampai dia mati ? Pertanyaan lainnya: Mana yang lebih melindung seorang wanita sikap tegas Al Qur'an atau sikap kendor moral (lax) daripada Injil ?

Beberapa kalangan, terutama di belahan negara-negara Barat, mungkin cenderung untuk menertawakan bahwa kesederhanaan (modesty) berguna untuk perlindungan. Alasan mereka adalah perlindungan yang terbaik yaitu memperluaskan pendidikan, berperilaku yang sopan, dan pengendalian diri. Kami akan mengatakan: semua itu baik tapi tidak cukup.

Jika tindakan yang ada dipandang perlindungan yang sudah cukup, lalu mengapa wanita-wanita di Amerika Utara saat ini tidak berani berjalan sendirian di kegelapan atau bahkan cemas melewati tempat parkir yang sepi ?. Jika pendidikan adalah suatu penyelesaian lalu mengapa Universitas Queen yang terkenal pelayanan pendidikannya terpaksa harus mengantar pulang para mahasiswi di dalam kampus ?. Jika pengendalian diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus pelecehan sex di tempat kerja diberitakan di media masa nyaris setiap hari ?. Contohnya, yang tertuduh melakukan pelecehan sex dalam beberapa tahun terakhir: para perwira Angkatan Laut, Manager-manager, Professor-professor, Senators, Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justices), dan bahkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton sendiri !

Saya tercengang saat saya membaca statistik yang ditulis dalam sebuah pamflet yang dikeluarkan oleh Dean of women's office di Universitas Queen berikut :

· Di Canada, setiap 6 menit ada seorang wanita yang mengalami pelanggaran sexual.

· 1 dari 3 wanita di Canada akan mengalami pelanggaran sexual pada suatu saat dalam kehidupannya.

· 1 dari 4 wanita berada dalam resiko diperkosa atau usaha pemerkosaan dalam kehidupannya.

· 1 dari 8 wanita akan mengalami pelanggaran sexual saat menjadi mahasiswi unitersitas.

· Sebuah penelitian menemukan bahwa 60% dari mahasiswa laki-laki mengatakan mereka akan berbuat pelanggaran seksual jika mereka yakin mereka tidak ditangkap.

Ada sesuatu yang secara fundamental amat sangat keliru di masyarakat kita ini [negara Barat, penerjemah] Suatu perubahan yang radikal sangat perlu dilakukan di dalam gaya hidup dan budaya kita ini. Budaya hidup sederhana (modesty) teramat sangat dibutuhkan.Sederhana dalam berpakaian, dalam bertutur kata, dan dalam sopan santun berhubungan antara pria dan wanita. Kalau perubahan tidak dilakukan, maka angka-angka statistik yang kelabu di atas akan makin suram dari hari ke hari hingga benar-benar semuanya terjerembab dalam kegelapan. Dan sialnya, penanggung beban masyarakat yang paling berat adalah para wanita.

Sesungguhnya kita semua menderita sebagaimana Khalil Gibran (sastrawan nasrani dari Libanon, penerjemah) pernah mengatakan: "...for the person who receives the blows is not like the one who counts them." (Khalil Gibran, 1960, hal 56). Oleh sebab itu, sebuah masyarakat seperti Perancis yang pernah mengusir seorang gadis dari sekolahnya lantaran si gadis menampilkan kesederhaan dengan mengenakan tudung, sesungguhnya hanyalah tindakan yang mencelakakan masyarakat itu sendiri.

Adalah sebuah ironi maha besar di dalam dunia yang kita tinggali saat ini. Secarik tudung penutup kepala mereka katakan sebagai simbol 'kesucian' saat dikenakan oleh seorang biarawati Katolik, padahal dalam ajaran Kristiani hal itu untuk menunjukkan kekuasaan pria. Namun apabila secarik tudung kepala tersebut dikenakan oleh seorang muslimah untuk keperluan melindungi diri, justru dituduh sebagai simbol penindasan pria atas wanita! []


Catatan Redaksi: Artikel berikut adalah salah satu bab dari buku kecil karangan Dr. Sherif Abdel Azeem, seorang professor di Queen University, Ontario, Canada. Judul bukunya (terbitan 1996) adalah Women in Islam versus Women in the Judaeo-Christian Tradition; The Myth and The Reality. Hak Cipta ada pada pengarang dimana beliau mengijinkan untuk penyalinan dan terjemahan sepanjang tidak mengurangi isinya.


Terjemahan ke bahasa Indonesia dilakukan oleh Ria Amirul. Saat diterjemahkan, naskah asli bisa di-download dari situs http://www.stanford.edu/group/issu.



Sumber: http://www.muslimdaily.net/wanita/4325/jilbab-menurut-islamkristen-dan-yahudimitos-dan-realita

Monday, October 10, 2011

Peringatan Hari Kelahiran

Oleh
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aiz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa hukum perayaan setelah setahun atau dua tahun atau lebih umpamanya, atau kurang, sejak kelahiran seseorang, yaitu yang disebut dengan istilah ulang tahun atau tolak bala. Dan apa hukum menghadiri pesta perayaan-perayaan tersebut. Jika seseorang diundang menghadirinya, apakah wajib memenuhinya atau tidak? Kami mohon jawabannya, semoga Allah membalas Syaikh dengan balasan pahala.

Jawaban:
Dalil-dalil syari'at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menunjukkan bahwa peringatan hari kelahiran termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak ada asalnya dalam syari'at yang suci, maka tidak boleh memenuhi undangannya karena hal itu merupakan pengukuhan terhadap bid'ah dan mendorong pelaksanaannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,

"Artinya : Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah." [Asy-Syura: 21]

Dalam ayat lain disebutkan,

"Artinya : Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui. Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa." [Al-Jatsiyah: 18-19]

Dalam ayat lainnya lagi disebutkan,

"Artinya : Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya)." [Al-A'raf : 3]

Diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,

"Artinya : Barang siapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia tertolak." [1]

Dalam hadits lainnya beliau bersabda,

"Artinya ; Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan Muhammad Saw, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat." [2]

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid'ah yang tidak ada asalnya dalam syari'at, juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani yang biasa menyelenggarakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka, sebagaimana sabda beliau,

"Artinya : Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, seandainya mereka masuk ke dalam sarang biawak pun kalian mengikuti mereka." Kami katakan, "Ya Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?" Beliau berkata, "Siapa lagi." [3]

Makna 'siapa lagi' artinya mereka itulah yang dimaksud dalam perkataan ini. Kemudian dari itu, dalam hadits lain beliau bersabda,

"Artinya : Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golongan mereka” [4]
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.

Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada yang diridhai-Nya.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutannawwi’ah, juz 4, hal. 283]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
__________
Foote Note
[1]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718). Al-Bukhari menganggapnya mu'allaq dalam Al-Buyu' dan Al-I'tisham.
[2]. Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam Al-Jumu’ah (867).
[3]. Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dan Muslim: Al-Bukhari dalam Ahaditsul Anbiya' (3456). Muslim dalam Al-‘Ilm (2669).
[4]. Ahmad (5094, 5634). Abu Dawud (4031)..

Tuesday, October 4, 2011

WANITA; 1 AKAL, 9 NAFSU?

Posted by on 22 September 2011


Sejak sekian lama masyarakat Islam di negara kita sentiasa terdedah dengan perkara yang pelik lagi menarik. Manusia memang berminat untuk mengetahui, mengeluar dan menyebarkan cerita-cerita yang karut, samada secara lisan, tulisan, filem atau apa saja.

Cerita bahawa kaum lelaki memiliki 9 akal dan 1 nafsu, manakala perempuan pula sebaliknya, iaitu 1 akal dan 9 nafsu memang amat masyhur sekali di kalangan kita. Ia telah dilihat dan diterima oleh masyarakat kita sebagai sesuatu yang benar. Jika ditanya dari manakah sumber fakta ini diambil, mereka akan menjawabnya; mendengarnya daripada para alim ulama’.

Kata-kata sakti ini dinukilkan daripada dialog yang berlaku di antara Imam al-Hasan al-Basri dengan tokoh Sufi yang masyhur, Rabiatul Adawiyah rahimahumalLah. Iaitu semasa al-Hasan pergi meminangnya setelah kematian suaminya, beliau telah disoal beberapa perkara oleh Rabiah dan tidak dapat menjawabnya. Tetapi apabila ditanya tentang akal, dikatakan al-Hasan telah menjawab sebagaimana di atas, iaitu 9:1 dan 1:9.

Demikianlah kisah yang didakwa telah berlaku di antara dua tokoh besar dalam Islam. Kisah ini telah dinukilkan oleh Usman al-Khaubawi, dalam kitabnya “Durrah an-Nasihin” , (dalam buku ini jugalah terdapat hadis masyhur di kalangan orang Melayu tentang kelebihan tertentu setiap malam solat terawih).

Menurut al-Fadhil Dr Abu Zaid, Ahmad Najib Abdullah al-Qari [mantan pensyarah KIAS, sekarang di APIUM, Nilam Puri] melalui makalah beliau dalam majalah “Pengasuh” terbitan MAIK bil 623:

Cerita ini tidak benar sama sekali untuk dinisbahkan kepada al-Hasan al-Basri (apalagi kepada Rasulullah saw) kerana ia diambil daripada sumber yang tidak sahih. Hujahnya mudah sahaja, al-Hasan al-Basri dilahirkan pada tahun 21H dan meninggal dunia pada 110H. Manakala Rabiatul Adawiyah pula -berdasarkan pendapat yang paling tepat- dilahirkan pada tahun 100H dan meninggal dunia pada 180H [Lihat: Az-Zahabi, Siyar A’lam an-Nubala’: 8341].

Ini bermakna ketika al-Hasan meninggal dunia, Rabiatul Adawiyah baru berumur 10 tahun, bagaimana pula boleh berlaku dialog sedemikian di antara mereka berdua?

Untuk maklumat lanjut sila lihat majalah “Pengasuh” yang tersebut di atas tadi. Wallahua’lam.

Akhukum, Abu Anas Madani, 23 Syawal 1432H.

www.abuanasmadani.com

Sunday, October 2, 2011

Ciri-Ciri Isteri Pilihan

Ditulis oleh Kapten Hafiz Firdaus Abdullah
Friday, 11 February 2011

Jika sebelum ini kita telah mengupas ciri-ciri suami pilihan, maka kali ini kita akan mengupas pula ciri-ciri isteri pilihan. Artikel ini ditujukan kepada bakal suami tentang apakah ciri-ciri isteri yang patut dia pilih, juga kepada bakal suami yang sudah ada calon isteri, maka ciri-ciri apakah yang patut dia didik calon isterinya itu. Tidak ketinggalan kepada wanita atau bakal isteri, ciri-ciri apakah yang sepatutnya dia melengkapi dirinya.

Pertama: Agama.

Ciri pertama yang penting ialah agama. Allah berfirman dengan membuat perbandingan:ibu_muslimah.jpgSesungguhnya seorang hamba wanita yang beriman lebih baik daripada wanita kafir musyrik sekalipun keadaannya menarik hati kamu.” [al-Baqarah 2:221]

Dalam perbandingan di atas, Allah menerangkan bahawa seorang wanita yang berstatus rendah, amat rendah sehingga ke tahap budak hamba, adalah lebih baik asalkan dia beriman kepada Allah (mukminat). Justeru yang membezakan ciri baik dan buruk bukanlah kecantikan atau daya tarikan, tetapi nilai agama seorang wanita.

Perhatikan juga bahawa Allah tidak menyebut wanita Islam (Muslimat) tetapi menyebut wanita beriman (Mukminat). Ini kerana tahap seorang Mukminat lebih tinggi dari tahap seorang Muslimat. Maka untuk ciri pertama ini, ciri isteri pilihan bukanlah sekadar muslimat yang biasa-biasa tetapi muslimat yang memiliki ilmu agama, beriman dengan teguh dan menterjemahkan ilmu dan keimanannya kepada amal shalih sehari-harian.

Berkenaan ciri agama ini, Rasulullah juga pernah bersabda: “Seorang wanita dinikahi kerana empat sebab: hartanya, keluarganya, kecantikannya dan agamanya. Maka pilihlah kerana agamanya, jika tidak kamu akan rugi.” [Shahih al-Bukhari, no: 4700]

Kedua: Cantik.

Jangan terperanjat jika Islam mementingkan ciri kecantikan kepada seorang isteri. Rasulullah pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan.” [Shahih Muslim, no: 131] Kecantikan sebegitu penting sehingga Rasulullah menganjurkan seorang lelaki untuk melihat wanita pilihannya sebelum pergi melamar atau meminang. Baginda bersabda:

Apabila salah seorang dari kalian melamar wanita, maka selagi dia boleh melihat apa yang dapat mendorongnya untuk menikahinya, maka lakukanlah ia.” [Shahih Sunan Abu Daud, no: 2082]

Maksud kecantikan di sini ialah apa yang tulen, bukan kecantikan palsu umpama penggunaan alat solek. Bukan juga kecantikan yang menelan kos yang tinggi seperti pembedahan plastik, dandanan rambut di salon terkenal, penurunan berat badan di pusat-pusat yang diragui keberkesanannya dan pakaian fesyen terkini di butik yang berjenama.

Justeru mana-mana wanita yang ingin diperisterikan, bakal menjadi isteri dan sudah menjadi isteri, hendaklah menjaga kecantikan mereka dengan gizi pemakanan yang sihat, senaman dan keyakinan diri. Yakinlah bahawa semua wanita ciptaan Allah adalah cantik, hanya kecantikan itu akan dikecapi oleh lelaki yang tentu saja berbeza citarasanya antara satu dengan yang lain.

Ketiga: Menyenangkan Suami.

Rasulullah pernah ditanya tentang ciri-ciri isteri yang baik. Baginda menjawab: “Wanita yang membahagiakan (suaminya) jika dipandang, mentaatinya jika diperintahkan dan tidak menyelisihi berkenaan dirinya dan hartanya dengan apa yang tidak disukai (oleh suami).” [Shahih Sunan al-Nasa’e, no: 3231]

Ciri seorang isteri pilihan ialah dia memberi ketenangan, kegembiraan dan kebahagiaan apabila saja suami melihatnya. Jika suami menyuruh dia melakukan sesuatu, dia akan melakukannya sekadar yang mampu dengan syarat suruhan itu selari dengan syari’at Islam. Jika bertentangan, maka isteri tidak perlu taat. Namun berbincanglah dengan suami secara hikmah kerana mungkin suami tidak tahu mengenainya.

Selain itu isteri tidak akan menyelisihi, apatah lagi bertengkar atau memarahi, jika apa yang disukainya dibenci pula oleh suami. Ertinya, isteri berusaha untuk menyelaraskan kesukaannya dengan citarasa suami. Inilah yang dinamakan sehati, sejiwa.

Di sini mungkin ada yang bertanya, bahawa kenapa isteri mesti bersikap sehingga ke tahap demikian kepada suaminya? Apakah isteri tidak boleh bermuka muram, enggan taat dan memiliki pilihan tersendiri? Terhadap persoalan seperti ini atau yang seumpama, para isteri hendaklah sedar bahawa semua kebaikan yang dilakukan kepada suaminya, ia adalah ibadah kepada Allah. Dalam erti kata lain, suami merupakan sarana atau jalan untuk isteri beribadah kepada Allah. Perlu diingatkan bahawa ibadah bukan sahaja solat, puasa dan zikir, tetapi berbuat baik kepada suami sebagaimana dalam hadis di atas.

Keempat: Pandai Mendidik Anak-Anak.

Tanggungjawab suami ialah di luar rumah mencari nafkah untuk isteri dan anak-anak. Tanggungjawab isteri pula di dalam rumah mendidik anak-anak dan menjaga rumah. Maka atas dasar pembahagian tugas seperti ini, Rasulullah bersabda: “Sebaik-baik wanita Quraisy adalah yang paling lembut dan simpati pada anak pada masa kecilnya dan paling boleh menjaga harta suaminya.” [Shahih al-Bukhari, no: 4692]

Mungkin ada pula yang bertanya, bahawa isteri juga bekerja di luar rumah. Maka kenapa mereka dipertanggungjawabkan untuk urusan anak-anak dan penjagaan rumah? Jawapannya, pekerjaan di luar rumah tidak diwajibkan oleh Islam ke atas isteri. Jika isteri bekerja di luar rumah, maka ia adalah tanggungjawab tambahan yang dipilih oleh isteri itu sendiri. Jika isteri beralasan perlu mencari sumber kewangan tambahan untuk seisi keluarga, maka perlu ditanya kembali: “Apakah manusia pernah berkecukupan dalam urusan kewangan?”

Ciri-Ciri Suami Pilihan.

Ditulis oleh Kapten Hafiz Firdaus Abdullah
Wednesday, 19 January 2011

Apakah ciri-ciri yang patut dicari dan dipertimbangkan oleh seorang wanita apabila dia ingin memilih calon suami? Berikut disenaraikan ciri-ciri yang penting, berdasarkan turutan kepentingannya.

Pertama: Agama.

Ciri pertama yang mesti diperhatikan ialah agama calon suami. Pastikan suami seorang muslim. Jika dia seorang bukan muslim, jemputlah dia ke arah agama Islam. Pastikan sebab utama dia memeluk Islam ialah kerana sayangkan Allah dan Rasulullah, bukan kerana sayangkan anda.

Jika calon memang beragama Islam, maka langkah seterusnya ialah memerhatikan tahap keislamannya. Kita tidak mahu Islam yang biasa-biasa, tetapi muslim yang berilmu, beriman dan beramal shalih.

Di sini calon suami bukanlah semestinya seorang ustaz berkelulusan jurusan agama. Akan tetapi dia hendaklah orang yang menaruh minat kepada Islam, berusaha untuk mendalami ilmu-ilmunya, rajin mengerjakan amal shalih dan menjauhi perkara mungkar. Ini penting kerana suami dipertanggungjawabkan untuk memelihara dirinya dan rumahtangganya dari api neraka. Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka.” [al-Tahrim 66:06]

Perkara penting untuk turut diperhatikan, jangan hanya harap suami memiliki nilai agama yang bagus. Anda juga sebagai isteri mesti memiliki nilai agama yang baik agar dapat memainkan peranan sebagai isteri yang berilmu, beriman dan beramal shalih. Tidak dilupakan, sebagai isteri yang dapat menasihati dan membetulkan suami. Ini kerana kaum muslimin (lelaki) dan muslimat (perempuan) sebenarnya saling membantu antara satu sama lain:

Dan orang-orang lelaki yang beriman dan orang-orang perempuan yang beriman, sebahagiannya menjadi penolong bagi sebahagian yang lain; mereka menyuruh berbuat kebaikan dan melarang daripada berbuat kejahatan dan mereka mendirikan sembahyang dan memberi zakat, serta taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. [al-Taubah 9:71]

Kedua: Keluarga.

Ciri kedua yang perlu diperhatikan ialah sikap calon suami kepada keluarganya, khasnya ibubapanya. Ini kerana Islam amat menekankan seorang anak untuk berbuat baik kepada ibubapanya. Rasulullah bersabda: “Keredhaan Allah terletak pada keredhaan ibubapa manakala kemurkaan Allah terletak pada kemurkaan ibubapa.” [Shahih Sunan al-Tirmizi, no: 1899]

Maka calon suami itu jika dia memiliki kefahaman agama yang baik akan memastikan ibubapanya redha dan senang menerima anda sebagai bakal menantu. Jika tidak, dia akan bercakap dengan penuh hikmah dan hormat bagi menyakinkan ibubapanya menerima anda sebagai bakal menantu. Dia tidak akan membelakangkan ibubapanya kerana anda, dia tidak akan menderhakai ibubapanya kepada anda. Calon suami hendaklah pandai memainkan peranannya di jalan pertengahan di antara ibubapanya dan anda sebagai bakal isterinya.

Di antara ayah dan ibu, seorang anak hendaklah mengutamakan ibunya berdasarkan sabda Rasulullah: “Sesungguhnya syurga terletak di bawah tapak kakinya (ibu).” [Shahih Sunan al-Nasa’e, no: 3104] Justeru perhatikan bagaimana layanan calon suami terhadap ibunya kerana ia memiliki kaitan yang amat kuat dengan bagaimana dia bakal melayan anda sebagai isteri. Seorang anak lelaki yang melayan ibunya dengan penuh keprihatinan besar kemungkinan akan melayan bakal isterinya dengan penuh keprihatinan juga. Seorang anak lelaki yang mengabaikan ibunya besar kemungkinan akan mengabaikan isterinya juga.

Ketiga: Ciri Kepimpinan.

Lelaki – yakni suami – ialah pemimpin dalam sebuah institusi keluarga. Allah menyatakan tanggungjawab ini: “Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan.” [al-Nisa’ 4:36]

Maka hendaklah anda memerhatikan ciri-ciri kepimpinan calon suami anda. Berikan dia satu senario dan perhatikan bagaimana dia membuat keputusan. Berikan dia satu permasalahan dan perhatikan bagaimana dia menyelesaikannya. Berikan dia satu perancangan dan perhatikan bagaimana dia mengaturnya. Berikan dia satu amanah dan perhatikan bagaimana dia bertanggungjawab ke atasnya.

Berkenaan ciri kepimpnan ini, hendalah diketahui bahawa kebanyakan lelaki masa kini ketandusan ciri kepimpinan. Ini kerana kebanyakan ibubapa mendidik anak lelaki dengan cara membiarkan mereka bermain di luar rumah sesuka hati manakala anak perempuan dididik sikap tanggungjawab menguruskan adik-adik dan pelbagai urusan lain. Hasilnya, kebanyakan wanita bersikap dewasa dan bertanggungjawab manakala kebanyakan lelaki bersikap “sesuka hati” dan tidak memiliki hala tuju yang tertentu.

Berpijak atas sejarah pendidikan ini, maka janganlah mengharapkan calon suami memiliki ciri kepimpinan yang baik. Boleh dijangkakan dia lemah dalam bab ini, maka anda boleh memainkan peranan menyedarkannya dari tidur yang lena. Berikan dia masa dan ruang untuk meningkatkan ciri kepimpinannya.

Keempat: Kewangan.

Suami bertanggungjawab ke atas kewangan (nafkah) isterinya. Rasulullah mengingatkan para suami: “Bertaqwalah kepada Allah berkenaan isteri-isteri kalian….mereka memiliki hak di atas kamu, iaitu nafkah dan pakaian pada kadar yang berpatutan.” [Shahih Muslim, no: 2137]

Perlu dibezakan, tanggungjawab kewangan suami ke atas isteri bukanlah bererti suami mesti kaya. Tidak ada manfaat memiliki suami yang kaya tetapi kedekut, suami yang berharta tetapi tidak memberi nafkah, suami yang berstatus tinggi tetapi masih meminta duit isteri. Akan tetapi yang penting lagi bermanfaat ialah suami yang sedar tanggungjawabnya untuk memberi nafkah kepada isteri pada kadar yang dia mampu.

Perlu juga ditekankan, suami tetap wajib memberi nafkah kepada isteri sekalipun isteri memiliki harta atau pendapatan sendiri. Suami tidak boleh mengabaikan tanggungjawabnya memberi nafkah kepada isteri yang kaya atau berpendapatan, juga tidak boleh memaksa isteri mengeluarkan belanja untuk menampung kewangan keluarga. Isteri dibolehkan mengeluarkan belanja atas pilihan dirinya secara rela, bukan paksaan.

Kelima: Akhlaknya.

Ciri kelima yang tidak kurang penting ialah akhlak calon suami. Rasulullah menekankan: “Sesungguhnya tidaklah sikap santun terdapat pada sesuatu melainkan ia menghiasinya dan tidaklah ia (sikap santun) tercabut dari sesuatu melainkan ia memburukkannya.” [Shahih Muslim, no: 2594]

Cara penampilan, kekemasan pakaian, arah pandangan, bahasa percakapan, kesungguhan mendengar, kejujuran mengaku salah, rendah diri menerima teguran, sabar terhadap apa yang tidak diingini, tenang dalam suasana marah, senyum dalam suasana tenang dan tegas dalam suasana dizalimi, semuanya adalah akhlak mulia yang perlu diperhatikan.

Jangan sekadar memerhatikan akhlak calon suami kepada anda kerana lazimnya ia mestilah baik. Akan tetapi perhatikan akhlak dia kepada orang lain seperti ahli keluarga, rakan kerja, peniaga buah dan pelayan restoran. Dengan cara ini anda dapat bezakan sama ada akhlak baik yang ditunjukkan calon suami kepada anda adalah tulen atau pura-pura.

Sunday, September 25, 2011

Pakaian Seorang Wanita Beriman (Muslimah) Menurut al-Qur’an & as-Sunnah

http://fiqh-sunnah.blogspot.com

Syarat-Syarat asas pakaian seorang wanita,

1 – Menutup Seluruh Tubuh, melainkan bahagian yang dikecualikan (yang boleh untuk tidak ditutup).

2 – Bukan dengan tujuan untuk berhias atau melawa.

3 – Menggunakan kain yang tebal (bukan yang tipis) sebagai kain pakaiannya.

4 – Tidak ketat (longgar) dan menggambarkan bentuk tubuh.

5 – Tidak diberi wangian (perfume).

6 – Tidak menyerupai pakaian lelaki.

7 – Tidak menyerupai pakaian wanita kafir.

8 – Bukan pakaian untuk bermegah-megah.

Perintah Menutup Aurat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الإرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Maksudnya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan (menjaga) pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera (anak-anak lelaki) mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan lelaki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”.” (Surah an-Nuur, 24: 31)

لا جُنَاحَ عَلَيْهِنَّ فِي آبَائِهِنَّ وَلا أَبْنَائِهِنَّ وَلا إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ إِخْوَانِهِنَّ وَلا أَبْنَاءِ أَخَوَاتِهِنَّ وَلا نِسَائِهِنَّ وَلا مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ وَاتَّقِينَ اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengenakan (dan melabuhkan) jilbabnya (pakaian) ke seluruh tubuh mereka”. Dengan demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, dan dengan itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Surah al-ahzaab, 33: 59)

Maksud Hijab:

Hijbab adalah bentuk mashdar, dan maknanya secara bahasa adalah yang besifat menutup, melindungi, dan mencegah.

Dari segi syara’ (istilah) adalah seseorang wanita yang menutup tubuh dan perhiasannya, sehingga orang asing (yang bukan tergolong dari mahramnya) tidak melihat sesuatu pun dari tubuhnya dan perhiasan yang dia kenakan sebagaimana yang diperintahkan supaya ditutup (dihijab). Iaitu ditutup/dihijab dengan pakaiannya atau dengan tinggal di rumahnya.

Wanita mukmin berhijab dengan mengenakan khimar (kain tudung/penutup kepala) yang dilabuhkan sehingga ke dada-dada mereka dan dengan mengenakan jilbab yang menutupi seluruh tubuh mereka.

Maksud Khimar:

Lafaz al-Khumru/khumur (ألخمر) yang termaktub di dalam ayat 31 surah an-Nuur di atas adalah bentuk jama’ dari lafaz khimar (خمار) yang membawa maksud sesuatu yang dapat menutupi. Maksudnya di sini, adalah merujuk kepada menutupi kepala (tidak termasuk dada). Atau, ia juga disebut dengan al-Miqna’ (sigular) atau al-Maqaani’ (jamak/plural) yang membawa maksud tudung (penutup kepala). Secara lengkapnya (istilah) ia adalah pakaian yang menutup bahagian kepala iaitu mencakupi rambut, telinga, dan leher.

Berdasarkan penelitian Syaikh al-Albani, beliau menyatakan bahawa khimar adalah penutup kepala, tidak ada yang nampak darinya, melainkan lingkaran wajahnya. (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 14)

Manakala sebahagian pendapat yang lain (dari ulama) menyatakan menutup termasuk bahagian wajah/muka.

Maksud Jilbab:

Bentuk jama’ dari kata Jilbab adalah jalaabib (جلاَبِيب). Jilbab ialah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Fungsi jilbab lebih luas/umum dari khimar, kerana jilbab merujuk kepada menutup tubuh wanita dari kepalanya sehingga ke bahagian bawah tubuhnya (termasuk kaki). (Melainkan apa yang dibenarkan untuk tidak ditutup/dibolehkan terbuka)

Al-Jauhari berkata: “Jilbab adalah kain/pakaian yang menutupi seluruh tubuh.” (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 372)

Berkenaan ayat 31 Surah an-Nuur

“وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا” - “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.”

Maksudnya di sini, janganlah kamu (wanita yang beriman) menampakkan walau satu pun perhiasannya kepada lelaki ajnabi (yang bukan mahram), kecuali yang tidak dapat disembunyikan.

Ibnu Mas’oud (radhiyallahu ‘anhu) berkata: (iaitu) “Selendang dan pakaian”. Maksudnya di sini adalah kain tutup kepala yang biasa dikenakan oleh wanita arab dan baju yang menutupi badannya. Tidak mengapa menampakkan pakaian bawahnya. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 374-375)

Manakala sebahagian yang lain (pendapat yang lebih kuat) menyatakan bahawa tidak mengapa menampakkan tapak tangan (dari pergelangan ke tapak tangan) dan muka/wajah. Syaikh al-albani menjelaskan berdasarkan riwayat-riwayat yang mutawatir bahawa “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” adalah muka/wajah dan tapak tangan sebagaimana yang biasa berlaku kepada wanita-wanita pada zaman Nabi dan generasi sahabat. (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 60)

Begitu juga dengan imam al-Qurthubi yang menjelaskan bahawa “kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” adalah muka/wajah dan tapak tangan dan ianya dikuatkan dengan dalil dari hadis riwayat Abu Daud:

Dari ‘Aisyah, bahawa Asma’ binti Abu Bakar pernah menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan mengenakan pakaian yang tipis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pun berpaling darinya, lalu berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya wanita itu apabila telah mencapai masa haid, dia tidak sepatutnya memperlihatkan tubuhnya melainkan ini dan ini. Beliau berkata begitu sambil menunjuk ke wajah dan kedua tapak tangannya. Ini adalah cara yang paling baik dalam menjaga dan mencegah kerosakan manusia. Maka, janganlah para wanita menampakkan bahagian tubuhnya, melainkan wajah dan tapak tangannya. Allahlah yang memberi taufiq dan tidak ada Tuhan (yang benar) melainkan Dia.” (Tafsir al-Qurthubi, 11/229. Rujuk: al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 58-59)

Hadis ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Daud tersebut juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi, 2/226, 7/86. ath-Thabrani, Musnad asy-Syamiyyin, m/s. 511-512. Ibnu Adi, al-Kamil, 3/1209. Syaikh al-Albani menyatakan bahawa hadis ini mursal sahih dari jalan Qatadah yang dikuatkan dengan jalan Ibnu Duraik serta Ibnu Basyir. Rujuk perbahasan selanjutnya berkenaan hadis ini oleh al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 67-68)

“وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ” – “Dan hendaklah mereka menutupkan (memanjangkan) kain tudung (khimar) ke dadanya,” Maksudnya, kain tudung yang memanjang melebihi dada sehingga dapat menutupi dada dan tulang dada. Hukum ini adalah supaya wanita mukmin memiliki perbezaan yang jelas berbanding dengan wanita-wanita jahiliyyah, kerana wanita-wanita jahiliyyah tidak pernah melakukan apa yang diperintahkan oleh Allah tersebut. Menjadi kebiasaan mereka lalu di hadapan para lelaki dengan menampakkan dada tanpa ditutupi. Malah, mereka juga menampakkan leher, jambul rambut, dan anting-anting telinga mereka. Maka, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun memerintahkan kepada wanita-wanita yang beriman supaya menutup diri mereka di hadapan lelaki ajnabi (yang bukan mahramnya) atau apabila keluar dari rumah. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 375)

Maka, dengan ini, jelaslah bahawa wanita-wanita yang beriman (Islam) wajib untuk berhijab (menutup aurat) dengan mengenakan pakaian menutup seluruh tubuhnya kecuali yang dibenarkan terbuka (dinampakkan) iaitu muka dan tapak tangan.

Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah:

“Wajib bagi seluruh kaum wanita, sama ada yang merdeka, atau pun yang hamba supaya menutup jilbab ke seluruh tubuh mereka apabila keluar rumah (atau di hadapan lelaki ajnabi). Mereka hanya dibolehkan menampakkan wajah dan tapak tangannya sahaja berdasarkan kebiasaan yang berlaku pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam kerana adanya persetujuan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam terhadap mereka.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 111)

Wajibkah Menutup Wajah/Muka (Bagi Wanita)?

Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud di atas, membuka wajah bukanlah suatu yang diharamkan malah dibenarkan. Memang terdapat sebahagian pendapat yang menyatakan bahawa menutup wajah adalah wajib (dengan membiarkan hanya mata yang kelihatan). Maka, terdapat sebahagian wanita yang mempraktikkannya dengan mengenakan niqab (kain penutup yang menutup wajah dari hidung atau dari bawah lekuk mata dan ke bawah) atau purdah. Namun, menurut Syaikh al-Albani rahimahullah, menutup wajah dan kedua tapak tangan itu hukumnya adalah sunnah dan mustahab sahaja (tidak sampai kepada hukum wajib). (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 12)

Beliau juga menjelaskan bahawa:

“Dapat diambil kesimpulan bahawa permasalahan menutup wajah bagi seseorang wanita dengan purdah/niqab atau yang sejenisnya seperti yang dikenakan oleh sebahagian wanita zaman ini yang bersungguh-sungguh menjaga dirinya adalah suatu perkara yang memang terdapat di dalam syari’at dan termasuk amalan/perbuatan yang terpuji walaupun ianya bukanlah suatu hukum yang diwajibkan (ke atas mereka). Kepada mereka yang mengenakannya (menutup wajah) bererti dia telah melakukan suatu kebaikan dan mereka yang tidak melakukannya pula tidaklah berdosa.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 128)

Ini adalah kerana terdapat banyaknya riwayat-riwayat yang jelas menunjukkan bahawa tidak wajibnya menutup wajah. Namun, terdapat juga riwayat-riwayat yang lain yang menunjukkan adanya sunnah terhadap perbuatan menutup wajah (bagi wanita).

Riwayat Yang Menunjukkan Adanya Sunnah Menutup Wajah

Perlu kita fahami bahawa walaupun perbuatan menutup wajah dan tapak tangan bukanlah suatu perkara yang diwajibkan bagi wanita, namun perbuatan tersebut ada dasarnya dari Sunnah, dan ianya juga pernah dipraktikkan oleh para wanita di Zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam sendiri (maksudnya),

“Janganlah wanita yang ber-ihram itu mengenakan penutup wajah/muka atau pun penutup/kaos (sarung) tangan.” (Hadsi Riwayat al-Bukhari, 4/42, dari Ibnu ‘Umar)

Dari hadis ini menunjukkan bahawa apabila di luar waktu berihram, mereka akan mengenakan penutup wajah dan tangan. Maka dengan sebab itulah Nabi mengarahkan apabila mereka di dalam ihram supaya tidak berbuat demikian (menutup wajah dan tangan).

Malah, terdapat banyak hadis yang menunjukkan bahawa para isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memakai niqab (menutup wajah-wajah mereka). Perbuatan menutup wajah juga tsabit dari banyak atsar-atsar sahabat/tabi’in yang sahih. Ini adalah sebagaimana beberapa riwayat berikut:

1 - Dari ‘Aisyah, dia berkata:

“Biasanya para pemandu lalu di hadapan kami yang sedang berihram bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Maka, jika mereka melewati kami, maka masing-masing dari kami menjulurkan jilbab yang ada di atas kepala untuk menutup muka. Namun, apabila mereka sudah berlalu dari kami, maka kami pun membukanya kembali.” (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/30. Hadis ini hasan, lihat al-Irwa’, no. 1023, 1024)

2 – Dari Asma’ binti Abu Bakar, dia berkata:

“Kami biasa menutup wajah kami dari pandangan lelaki dan sebelum itu kami juga biasa menyisir rambut ketika ihram.” (Hadis Riwayat al-Hakim, al-Mustadrak, 1/545. Disepakati oleh adz-Dzahabi)

3 – Dari Ashim al-Ahwal, dia berkata:

“Kami pernah mengunjungi Hafshah bin Sirin (seorang tabi’iyah) yang ketika itu dia menggunakan jilbabnya untuk menutup wajahnya. Lalu, aku katakan kepadanya, “Semoga Allah memberi rahmat kepadamu. Allah berfirman: “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tidak memiliki keinginan untuk berkahwin (lagi), bagi mereka tiada dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka.” (Surah an-Nuur, 24: 60).” (Atsar Riwayat oleh al-Baihaqi, 7/93)

Berkenaan ayat 60 dari surah an-Nuur tersebut, Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata di dalam tafsirnya, jil. 5, m/s. 445, katanya: “Iaitu pakaian yang jelas tampak, seperti khimar (penutup kepala) dan sejenisnya yang sebelumnya telah Allah wajibkan untuk dipakai oleh wanita sebagaimana di dalam ayat “... dan hendaklah mereka melabuhkan khimar mereka sehingga ke dadanya.”

4 – Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, dia berkata:

“Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam meliuhat Syafiyah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihat ‘Aisyah mengenakan niqab (penutup wajah) di dalam sekumpulan para wanita. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam tahu bahawa itu adalah ‘Aisyah berdasarkan niqabnya.” (Hadis Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/90)

5 – Dari Anas bin Malik (dalam Perang Khaibar):

“...Akhirnya para sahabat pun mengetahui bahawa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjadikannya (Shafiyah) sebagai isteri. Ini adalah kerana beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam memakaikan khimar kepadanya dan membawanya duduk di belakangnya (di atas unta). Dan beliau pun menutupkan selendang (pakaian) beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam pada punggung dan wajahnya...” (Lihat: Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/387, 9/105. Muslim, 4/146-147. Ahmad, 3/123, 246, 264)

6 – Dari ‘Aisyah (di dalam peristiwa al-Ifki), dia berkata:

(ketika di dalam suatu perjalanan perperangan, ‘Aisyah tertinggal dalam satu persinggahan) katanya, “... aku berharap kumpulan prajurit akan menyedari bahawa aku tidak ada di dalam tandu dan segera akan kembali mencariku (yang tertinggal). Ketika aku duduk di perkhemahanku itu, aku terasa mengantuk lalu aku pun tertidur.

Ketika itu, Shafwan bin Mu’aththal as-Sulaimi adz-Dzakwani juga mengalami nasib yang sama, tertinggal dari rombongan prajurit. Dia pun berjalan menghampiri perkhemahanku dan melihat dari kegelapan ada sekujur tubuh manusia yang sedang tertidur. Dia pun menghampiriku. Dan dia mengenaliku, kerana dia pernah melihatku sebelum turun ayat hijab. Ketika dia tahu bahawa yang tertidur itu adalah aku, dia pun berteriak istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un). Teriakan tersebut membuatkanku terjaga dari tidur dan aku cepat-cepat menutup wajahku dengan jilbab...” (rujuk di dalam Tafsir Ibnu Katsir di bawah penafsiran Surah an-Nuur, 24: 11. Sirah Ibnu Hisyam, 3/309. Hadis Riwayat al-Bukhari, 8/194-197. Muslim, 8/133-118)

Riwayat Yang Menunjukkan Dibolehkan Membuka Wajah Dan Tapak Tangan

1 - Dari Imran bin Hushain, katanya:

“Suatu ketika aku pernah duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Tiba-tiba Fatimah datang, lalu berdiri di hadapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Aku memandang ke arahnya. Di wajahnya terdapat darah yang kekuning-kuningan...”(Hadis Riwayat Ibnu Jarir, at-Tahzib (Musnad Ibnu Abbas), 1/286, 481)

2 – Dari Abu Asma’ ar-Rabi’, dia menyatakan bahawa pernah mengunjungi Abu Dzar al-Ghifari yang ketika itu sedang berada di Rabdzah, yang di sampingnya ada isteri yang berkulit hitam... (Hadis Riwayat Ahmad, al-Musnad, 5/159)

3 – Dari Urwah bin Abdullah bin Qusyar, dia pernah mengunjungi Fathimah binti Abu Thalib. Dia berkata, “Aku melihat di tangan Fathimah terdapat gelang tebal, yang pada tiap-tiap tangannya terdapat dua gelang.” Dia berkata lagi, “Dan aku juga melihat ada cincin di tangannya...” (Hadis Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/366. Shahih menurut Syaikh al-Albani)

4 – Dari Mu’awiyah, dia berkata:

“Aku pernah bersama ayahku mengunjungi Abu Bakar. Aku melihat Asma’ berdiri dekat dengannya, dan Asma’ kelihatan putih (wajahnya). Lalu aku melihat Abu Bakar. Ternyata dia adalah seorang lelaki yang putih dan kurus.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, 1: 10/25)

5 – Dari ‘Aisyah, katanya:

“Kami para wanita mukminah biasanya menghadiri solat Subuh bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dengan mengenakan kain yang tidak berjahit. Kemudian para wanita tadi pulang ke rumahnya sebaik sahaja melaksanakan solat. Mereka tidak dapat dikenali disebabkan gelap.” (Hadis Riwayat al-Bukhari & Muslim. Lihat juga Shahih Sunan Abi Daud, no. 449)

Daripada hadis tersebut, para wanita tidak dapat dikenali diakibatkan oleh keadaan yang gelap. Sekiranya tidak gelap, sudah tentu mereka dapat dikenalpasti. Ini menunjukkan bahawa mereka tidak mengenakan penutup wajah yang mana mereka boleh dikenali.

6 – Dari Ibnu Abbas dia berkata:

“Pernah seorang wanita solat di belakang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam (di saf wanita). Dia seorang wanita yang sangat cantik dan secantik-cantik wanita...” (Hadis Riwayat al-Hakim. Sahih, disepakati oleh adz-Dzahabi. Lihat juga, Silsilah al-Ahadis as-Sahihah, no. 2472)

Malah, bolehnya membuka wajah bagi wanita tersebut juga turut didukung oleh firman Allah Subhanahu wa Ta’ala sendiri,

“Katakanlah kepada lelaki yang beriman supaya menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan mereka...” (Surah an-Nuur, 24: 30)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkata kepada Ali, “Wahai Ali, janganlah engkau ikuti pandangan pertamamu dengan pandangan yang berikutnya. Sesungguhnya hak kamu adalah pandangan yang pertama itu sahaja.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 1/335. Hadis hasan menurut Syaikh al-Albani)

Dari Jarir bin Abdullah, dia berkata: “Aku pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkenaan pandangan sekilas (pandangan pertama). Beliau meemrintahkanku supaya segera memalingkan pandangan tersebut.” (Hadis Riwayat Muslim, 6/182)

Kesimpulan dari firman Allah dan hadis tersebut adalah, sekiranya wanita tersebut menutup wajah-wajah mereka, mengapa perlu untuk menundukkan pandangan? Dengan ini, ia menunjukkan bahawa pada wanita itu ada bahagian yang terbuka dan memungkinkan untuk dilihat.

Malah berdasarkan hadis tersebut, sekiranya wajah wajib ditutup, sudah tentu bukan sahaja Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan kaum lelaki memalingkan wajahnya, tetapi juga beliau akan memerintahkan wanita untuk mengenakan penutup wajah.

Ciri-ciri Pakaian Wanita Yang Beriman

1 - Bukan dengan tujuan untuk berhias atau melawa (tabarruj):

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Dan hendaklah kamu (isteri-isteri Nabi) tetap di rumahmu serta janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu...” (Surah al-ahzaab, 33: 33)

Wanita-wanita diperintahkan supaya tinggal di rumah, namun tetap dibenarkan untuk keluar rumah dengan alasan yang dibenarkan oleh Syara’.

Muqatil bin Hayyan menyatakan berkenaan firman Allah (maksudnya), “janganlah kamu berhias (tabarruj) dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang dahulu” bahawa yang dimaksudkan dengan tabarruj adalah meletakkan tudung di atas kepala tanpa menutup bahagian leher, sehingga kalung-kalung mereka, anting-anting, dan leher mereka dapat dilihat. Qatadah berkata, “Apabila kaum wanita keluar rumah, mreka gemar berjalan dengan lenggang-lenggok, lemah gemalai, dan manja. Maka Allah melarang semua itu. (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 7, m/s. 279)

Menurut Syaikh al-albani rahimahullah:

“Tabarruj adalah perbuatan wanita menampakkan perhiasan dan kecantikannya, serta segala sesuatu yang sewajibnya ditutup dan disembunyikan kerana boleh membangkitkan syahwat klelaki. Dengan itu, maksud asal perintah menutup aurat adalah supaya kaum wanita menutup perhiasaannya (yang memiliki daya tarikan). Atas sebab itulah, maka tidak masuk akal sekiranya jilbab yang bertujuan menutup tubuh (aurat/perhiasan) itu pula menjadi pakaian untuk berhias/melawa sebagaimaan yang sering kita temui zaman ini.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 133)

2 - Menggunakan kain yang tebal (bukan yang tipis) sebagai kain pakaiannya

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Pada akhir zaman nanti ada wanita dari kalangan umatku yang berpakaian, namun sebenarnya mereka telanjang. Di atas kepala mereka seperti terdapat punggung unta. Kutuklah mereka itu, kerana sebenarnya mereka adalah wanita-wanita yang terkutuk.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, Mu’jam al-Kabir, m/s. 232. Rujuk Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah, no. 1326)

Ibnu Abdil Barr berkata: “Apa yang dimaksudkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam adalah para wanita yang mengenakan pakaian yang tipis sekaligus menggambarkan bentuk tubuhnya...” (as-Suyuti, Tanwir al-Hawalik, 3/103)

Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawa ‘Umar al-Khaththab pernah membahagikan baju qibthiyah (jenis pakaian mesir yang tipis berwarna putih) kepada masyarakat, kemudian dia berkata, “Janganlah kamu pakaikan baju-baju ini kepada isteri-isteri kamu!” Kemudian ada seseorang yang menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku telah memakaikannya kepada isteriku, dan telah aku perhatikan dari arah depan serta belakang, yang ternyata pakaian tadi tidaklah termasuk pakaian yang tipis.” Maka ‘Umar pun menjawab, “Sekalipun tidak tipis, namun pakaian tersebut masih tetap menggambarkan bentuk tubuh.” (Atsar Riwayat al-Baihaqi, 2/234-235)

Dari Syamiyah, dia berkata: “Aku pernah mengunjungi ‘Aisyah yang mengenakan pakaian siyad, shifaq, khimar, serta nuqbah yang berwarna kuning.” (Atsar Riwayat Ibnu Sa’ad, 8/70)

Siyad: adalah pakaian campuran sutera yang tebal.

Shifaq: adalah pakaian yang tebal dan begitu baik mutu tenunannya.

Nuqbah: adalah seluar yang tebal kainnya dan bermutu.

Maka, dengan itu hendaklah pakaian yang dikenakan bersifat tebal dan tidak tipis. Sekaligus tidak menggambarkan bentuk tubuh dan menampakkan warna kulit serta apa yang wajib disembunyikan (ditutup).

3 - Tidak ketat (longgar) dan menggambarkan bentuk tubuh

Usamah bin Zaid berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah memberikan kepadaku baju qibthiyyah yang tebal hadiah dari Dihyah al-Kalbi. Baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bertanya kepadaku, “Mengapa engkau tidak pernah memakai baju qibthiyyah?” Aku memberitahunya, “Baju tersebut aku pakaikan kepada isteriku.” Beliau lantas berkata, “Perintahkan isterimu supaya memakai baju dalam ketika mengenakan baju qibthiyyah tersebut, kerana aku bimbang baju tersebut masih dapat menggambarkan bentuk tubuhnya.” (Hadis Riwayat Adh-Dhiya’ al-Maqdisi, al-Ahadis al-Mukhtarah, 1/441. Ahmad, 5/205. Hadis ini memiliki penguat di dalam Riwayat Abu Daud, no. 4116 sehingga menjadikannya hasan)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam menjelaskan sebab larangan memakai baju qibthiyyah bagi wanita adalah kerana kebimbangan beliau bahawa baju tersebut masih dapat menggambarkan bentuk tubuh.

Jika kita perhatikan, bukankah pakaian tersebut tebal, jadi apa gunanya mengenakan pakaian dalam untuk masa yang sama?

Maka, perlulah kita fahami bahawa baju qibthiyyah tersebut walaupun tebal, namun ia masih boleh menggambarkan bentuk tubuh, kerana dia memiliki sifat lembut dan lentur (melekat) di tubuh seperti pakaian yang terbuat dari sutera atau tenunan dari bulu kambing yang dikenali pada zaman ini. Dengan sebab itulah, Rasulullah memerintahkan isteri Usamah supaya memakai pakaian dalam supaya bentuk tubuhnya dapat dilindungi dengan baik.

Dari Ummu Ja’far bintu Muhammad bin Ja’far, bahawa Fathimah binti Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah berkata:

“Wahai Asma’, sesungguhnya aku memandang buruk seorang wanita yang mengenakan pakaian tetapi masih menggambarkan bentuk tubuhnya.” (Atsar Riwayat abu Nu’aim, al-Hilyah, 2/43. al-Baihaqi, 6/34-35)

4 - Tidak Diberi Wangian (perfume)

Dari Abu Musa al-Asy’ary, dia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Wanita yang memakai wangi-wangian, dan kemudian dia melintasi suatu kaum supaya mereka mencium bau wanginya, maka wanita tersebut adalah wanita penzina.” (Hadis Riwayat an-Nasa’i, 2/283. Abu Daud, no. 4172, at-Tirmidzi, 2786. Ahmad, 4/400. Menurut al-Albani, hadis ini hasan)

“Alasan dari larangan tersebut dapat dilihat dengan jelas iaitu menggerakkan panggilan syahwat (kaum lelaki). Sebahagian ulama telah mengaitkan perkara lain dengannya, seperti memakai pakaian yang cantik (melawa), perhiasan yang ditampakkan, dan bercampur baur dengan kaum lelaki.” (Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul Bari, 2/279. Lihat Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 151)

Dari Abu Hurairah, dia berkata:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam pernah bersabda: “Wanita yang memakai bakthur (sejenis pewangi untuk pakaian), janganlah solat ‘isya’ bersama kami.” (Lihat Silsilah al-Ahadis ash-shahihah, no. 1094)

Dari Zainab ats-Tsaqafiyah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Jika salah seorang wanita di antara kamu hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wangi-wangian.” (Hadis Riwayat Muslim)

Menurut Syaikh al-Albani rahimahullah:

“Apabila perkara tersebut diharamkan bagi wanita yang hendak ke masjid, maka apatah lagi bagi wanita yang bukan ke masjid seperti ke pasar dan seumpamanya? Tidak diragukan lagi bahawa perkara tersebut lebih haram dan lebih besar dosanya.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 151)

Al-Haitsami rahimahullah menjelaskan:

“Sesungguhnya keluarnya seseorang wanita dari rumahnya dengan mengenakan wangi-wangian dan perhiasan adalah dosa besar, walaupun suaminya memberi izin padanya.” (al-Haitsami, az-Zawaajir, 2/37. Lihat Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 151)

5 - Tidak menyerupai pakaian lelaki

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat lelaki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian lelaki.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 2/182. Ibnu Majah. 1/588, Ahmad. 2/325. Sanad Hadis ini Sahih)

Dari Ibnu abbas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melaknat lelaki yang menyerupai wanita, dan wanita yang menyerupai lelaki.” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/274)

Batas larangan yang dimaksudkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berkenaan penyerupaan wanita dengan lelaki atau yang sebaliknya tidaklah hanya merujuk kepada apa yang dipilih oleh sama ada kaum lelaki atau wanita berdasarkan apa yang biasa mereka pakai. Tetapi, apa yang lebih penting adalah perlunya merujuk kembali kepada apa yang wajib dikenakan bagi kaum lelaki dan wanita berpandukan kepada perintah syara’ yang mewajibkan menutup aurat menurut kaedahnya. (Lihat juga: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 152)

Di antara contoh perbuatan kaum wanita pada masa ini yang menyerupai kaum lelaki di dalam berpakaian adalah mereka memendekkan kain-kain atau pakaian-pakaian mereka sehingga mengakibatkan tersingkapnya kaki dan betis-betis mereka. Malah lebih parah sehingga peha-peha mereka menjadi tontonan umum.

Persoalan ini dapat kita fahami dengan baik melalui hadis yang berikut ini,

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya (melebihi mata kaki/buku lali) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan kaum wanita, apa yang harus dilakukan pada hujung (bawah) kain mereka?” Baginda pun menyatakan: “Sekiranya mereka melabuhkannya, labuhkanlah sejengkal (dari tengah-tengah betis). Ia berkata, “Sesungguhnya jika seperti itu (hanya sejengkal) maka kaki mereka akan masih dapat tersingkap”. Baginda menjelaskan, “Maka, labuhkanlah sehingga sehasta dan jangan lebih dari itu”. (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/364, no. 4119. an-Nasaa’i, 8/209, no. 5336-5339. at-Tirmidzi, 4/223, no. 1736. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/5555. Dan Abul Razak as-San’ani di dalam al-Mushannafnya 11/82. Berkata Imam Muslim: Sanad hadis ini sahih)

Melalui hadis ini, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam memerintahkan supaya para wanita melabuhkan kain-kain atau pakaian mereka sehingga tertutupnya betis dan kaki mereka.

Namun, apa yang berlaku pada masa ini adalah sebaliknya. Di mana, telah banyak tersebar dan diketahui secara umum bahawa begitu ramai sekali kaum lelaki yang gemar melabuhkan pakaiannya sehingga menyentuh tanah atau melabuhkannya dengan melepasi paras mata kaki (buku lali), namun berlaku sebaliknya pula kepada kaum wanita di mana mereka pula banyak berpakaian seakan-akan tidak cukup kain. Iaitu dengan mendedahkan aurat kepalanya (tidak bertudung), memakai pakaian ketat dan malah memendekkan kainnya atau seluarnya sehingga tersingkap betis-betis mereka.

Bukankah ini sudah menunjukkan suatu perkara yang terbalik berbanding sebagaimana yang dikehendaki oleh syari’at? Di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan agar kaum lelaki supaya tidak ber-isbal (tidak melabuhkan pakaiannya melebihi buku lali), dan memerintahkan agar kaum wanitanya melabuhkan kain sehingga sejengkal melebihi buku lali.

Maka, tidak syak lagi, bahawa perkara ini juga tergolong di dalam suatu bentuk penyerupaan di antara satu jantina dengan jantina yang lain dalam berpakaian dan bertingkah laku.

Ini hanyalah sebagai contoh, malah banyak lagi contoh yang lainnya (bagi lelaki yang menyerupai wanita) seperti lelaki yang mengenakan sutera sebagai pakaian yang mana ia adalah pakaian yang diharamkan kepada lelaki tetapi diharuskan bagi wanita. Begitu juga dalam persoalan memakai emas, anting-anting, dan seumpamanya.

Dan bagi wanita yang menyerupai lelaki adalah mereka mengenakan pakaian seluar yang ketat, berseluar pendek, tidak mengenakan tudung, memakai baju yang menampakkan lengan-lengan mereka dan seumpamanya.

6 - Tidak Menyerupai Pakaian Wanita Kafir (Tasyabbuh)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

“Adakah belum datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk hatinya tunduk mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya yang telah diturunkan al-Kitab kepada mereka, kemudian berlalulah masa yang panjang ke atas mereka sehinggalah hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasiq.” (Surah al-Hadid, 57: 16)

Ibnu Katsir menjelaskan berkenaan ayat ini dengan katanya: “Oleh kerana itu, Allah Ta’ala melarang orang-orang yang beriman menyerupai mereka (orang-orang yahudi) sama ada dalam perkara aqidah atau pun perkara-perkara fiqh.

Beliau juga menjelaskan (di bawah penafsiran al-Baqarah, 2: 104):

“Allah Ta’ala melarang hamba-hamba-Nya yang beriman menyerupai orang-orang kafir, sama ada dalam ucapan mahu pun perbuatan mereka.” (al-Mishbaahul Muniir fii Tahdziibi Tafsiiri Ibni Katsir, jil. 1, m/s. 364)

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Sesiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk dari golongan mereka.” (Hadis Riwayat Abu Daud. Sahih menurut Syaikh al-Albani dalam Shahihul Jami’, no. 6149)

Syaikh al-Albani rahimahullah menjelaskan:

“Di dalam syari’at Islam telah ditetapkan bahawa umat Islam, sama ada lelaki atau pun perempuan, mereka tidak dibenarkan bertasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir, sama ada dalam persoalan ibadah, hari perayaan, dan juga berpakaian terutamanya yang merujuk kepada pakaian-pakaian khas agama mereka. Ini adalah merupakan prinsip yang asas di dalam agama Islam, yang sayangnya telah banyak diabaikan oleh umat Islam zaman sekarang” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 176)

Di dalam sebuah hadis, ia menjelaskan bahawa Rasulullah mengharamkan kepada kita memakai pakaian yang merupakan pakaian orang-orang kafir.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melihatku memakai dua pakaian yang diwarnai dengan warna kuning (yang menyerupai pakaian kebiasaan orang kafir), maka beliau pun berkata:

“Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah engkau memakainya”.” (Hadis Riwayat Muslim, no. 2077. an-Nasa’i 2/298. Ahmad, 2/162)

Dari Ali radhiyallahu ‘anhu: “Janganlah kamu memakai pakaian para pendeta (seperti paderi, brahma, sami). Kerana sesungguhnya sesiapa yang mengenakan pakaian seumpama itu atau menyerupai mereka, maka dia bukan termasuk golonganku.” (Hadis Riwayat ath-Thabrani, al-Ausath)

Jika kita mahu mengambil contoh pada zaman sekarang, kita boleh melihat terdapat sebahagain umat Islam yang menggayakan/mengenakan pakaian sari (milik mereka yang beragama hindu), memakai pakaian Santa Claus (milik orang Kristian), dan juga memakai pakaian sami yang berwarna kuning, dan seumpamanya.

Dalam persoalan tasyabbuh ini sebagaimana yang dijelaskan, ia tidaklah terhad dalam persoalan berpakaian, malahan bersifat umum dan menyeluruh. Jika kita lihat hadis-hadis dalam persoalan tasyabbuh ini, ia turut menunjukkan betapa Nabi menegaskan larangan menyerupai orang-orang kafir dalam soal ibadah seperti solat, puasa, haji, jenazah, makanan, dan seterusnya.

Contoh Larangan Tasyabbuh Dalam Ibadah Solat:

1 – Nabi melarang menggunakan loceng dan trompet bagi menunjukkan masuknya waktu solat dan menyeru orang menunaikan solat. Beliau menjelaskan perbuatan tersebut menyerupai kaum Nasrani dan Yahudi. (Lihat Sahih Sunan Abi Daud, no. 511)

2 – Nabi melarang menunaikan solat ketika terbit matahari sehinggalah bermula naiknya matahari. Begitu juga di waktu terbenamnya matahari. Kerana pada waktu tersebut adalah waktu orang-orang kafir beribadah. (Rujuk Hadis Riwayat Muslim, 2/208-209)

3 – Dilarang menunaikan solat di atas kubur dan menjadikan kuburan sebagai masjid. Ini adalah kerana orang-orang kafir sebelum mereka menjadikan kuburan sebagai masjid. (Rujuk Hadis Riwayat Muslim, 2/67-68)

Contoh Larangan Tasyabbuh Ketika Berpuasa:

1 – Nabi memerintahkan supaya bersahur untuk berpuasa supaya membezakan dengan puasa ahli kitab yang berpuasa tanpa bersahur. (Rujuk Hadis Riwayat Muslim, 3/130-131)

Larangan Tasyabbuh Dalam Urusan Sembelihan Haiwan:

1 – Nabi melarang menyembelih haiwan dengan menggunakan kuku kerana kuku adalah pisau sembelihan orang-orang Habasyah. (Rujuk Hadis Riwayat al-Bukhari, 9/513-517, 553)

Larangan Tasayabbuh Dalam Penampilan:

1 – Nabi memerintahkan supaya menyelisihi orang-orang musyrik dengan cara merapikan misai, dan membiarkan janggut tumbuh panjang (jangan dicukur). (Rujuk Hadis Riwayat al-Bukhari, 10/288)

Larangan Tasyabbuh Dalam Persoalan Adab:

1 – Nabi melarang memberi salam seperti orang Yahudi, iaitu mereka memberi salam dengan kepala, tapak tangan, dan isyarat. (Lihat Silsilah al-Ahadis ash-Shahihah, no. 1783)

2 – Nabi memerintahkan supaya menjaga kebersihan halaman rumah dan jangan membiarkan ia dipenuhi sampah sarap. Kerana perbuatan mebiarkan sampah sarap di halaman rumah adalah perbuatan orang-orang Yahudi. (Rujuk Hadis Riwayat ath-Thabrani, al-Ausath, 11/2)

Maka, dengan penjelasan tersebut, kita perlu berusaha supaya menyelisihi orang-orang kafir terutamanya dalam persoalan yang telah ditunjukkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam. Kerana Allah berfirman,

“Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapa-bapa, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam Syurga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah redha terhadap mereka, dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Surah al-Mujadilah, 58: 22)

7 – Bukan Pakain Untuk Bermegah-megah (Menunjuk-nunjuk)

Dari Ibnu ‘Umar, dia berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:

“Sesiapa yang memakai pakaian syuhrah (kebanggaan), maka Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan pada hari Kiamat kemudian membakarnya dengan Api Neraka.” (Hadis Riwayat Abu Daud, 2/172, no. 4029)

Pakaian syuhrah adalah pakaian yang dipakai dengan tujuan supaya terkenal di mata orang kebanyakan, sama ada pakaian yang sangat berharga yang dipakai dalam rangka tujuan berbangga (mencari populariti) di dunia dan perhiasannya atau pakaian yang lusuh dengan tujuan menampakkan sifat kezuhudan dan menarik perhatian. (Lihat: Abu Malik Kamal, Ensiklopedi Fiqh Wanita, jil. 2, m/s. 153)

Hukum Menutup Kaki Bagi Wanita

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Sesiapa yang melabuhkan pakaiannya (melebihi mata kaki/buku lali) dengan kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat. Ummu Salamah bertanya, “Bagaimana dengan kaum wanita, apa yang harus dilakukan pada hujung (bawah) kain mereka?” Baginda pun menyatakan: “Sekiranya mereka melabuhkannya, labuhkanlah sejengkal (dari tengah-tengah betis). Ia berkata, “Sesungguhnya jika seperti itu (hanya sejengkal) maka kaki mereka akan masih dapat tersingkap”. Baginda menjelaskan, “Maka, labuhkanlah sehingga sehasta dan jangan lebih dari itu”. (Hadis Riwayat Abu Daud, 4/364, no. 4119. an-Nasaa’i, 8/209, no. 5336-5339. at-Tirmidzi, 4/223, no. 1736. Ahmad di dalam al-Musnad, 2/5555. Dan Abul Razak as-San’ani di dalam al-Mushannafnya 11/82. Berkata Imam Muslim: Sanad hadis ini sahih)

Berdasarkan hadis ini, bahawa wanita perlu (wajib) menutup kaki-kaki mereka termasuklah betis-betis mereka iaitu dengan melabuhkan kain-kain mereka sebanyak satu hasta (lebih kurang satu kaki) dari pertengahan betis mereka.

Malah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mebenarkan pakaian wanita terseret di atas tanah bagi tujuan menutup kaki-kaki mereka. (Lihat penjelasannya oleh Ibnu Taimiyah di dalam Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 166, al-Albani)

Berkenaan hadis tersingkapnya gelang-gelang kaki wanita di dalam perang Uhud, iaitu sebagaimana hadis daripada Anas radhiyallahu ‘anhu, dia berkata:

“Ketika waktu perang Uhud, kaum muslimin berada dalam keadaan kucar-kacir meninggalkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, sedangkan abu Thalhah berdiri di hadapan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melindungi dengan perisai dari kulit miliknya. Aku lihat ‘Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim berjalan tergesa-gesa. Aku melihat gelang-gelang kaki mereka ketika keduanya melompat-lompat sambil membawa bekas air di pinggangnya dan menuangkan bekas air tersebut ke mulut-mulut kaum muslimin...” (Hadis Riwayat al-Bukhari, 7/290. Muslim, 5/197)

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Siatusi tersebut terjadi sebelum turunnya ayat perintah menutup aurat (ayat hijab). (Dalam keadaan seperti itu) Mungkin juga ia terjadi tanpa mereka sengajakan.” (al-Albani, Jilbab al-Mar’atil Muslimah fii Kitabi wa as-Sunnah, 1412H, m/s. 166)