The greatest and most important of all the favors and blessings bestowed by Allaah is Islaam and the honorable Islamic law, which is derived from the Book of Allaah and the Prophetic Sunnah. This Law has outlined all that which is beneficial for mankind in this life and the Hereafter.
One of the virtues of this Law is that its rules and regulations have clearly laid out preventions of all evil and immorality, and all the roads that lead to it which is a protection of the truth and morality. There are many issues for which this Law has laid out preventative measures so that people will not fall into evil, for example on some of the issues of faith, acts of worship and transactions.
However, the most obvious of all of these preventative measures are those related to women and the limits that Allaah has defined for them not to exceed. Islaam has clearly laid the guidelines for the Muslim woman to adhere to so that her personality remains distinct and her safety, purity, and good conduct are assured.
The correct dress and covering for women and the prohibition of them intermixing with men are the two most important interconnected preventative measures that Islaam has laid out. Muslims must submit to the rulings which oblige women to properly cover in order to protect their chastity and purity, maintain shyness and protect them from being harassed or bothered, as Allaah Says (what means): “O Prophet! Tell your wives and your daughters and the women of the believers to bring down over themselves [part] of their outer garments. That is more suitable that they will be known [as chaste believing women] and not be abused. And ever is Allaah Forgiving and Merciful” [Quran 33: 59].
In this verse, Allaah addressed the wives of the Prophet , who were the furthest from immorality and evil actions; they were purest and most pious women ever and were honored by the virtue of being married to the Prophet .
Muslims must also adhere and submit to the rulings which prohibit intermixing mixing between men and women. There are many Islamic texts in this regard, such as the Hadeeth which is narrated by ‘Uqbah Ibn ‘Aamir that the Prophet , said: “Do not enter into the presence of women.” A man from the Ansaar then retorted: ‘What about our in-laws’ - referring to the relatives of a woman's husband such as his brothers, cousins, and their children, so the Prophet , replied: “The in-laws are death” [Al-Bukhaari & Muslim] which means that they are more harmful to women than death is to the soul. The previous evidence came from the Prophet , whose words were nothing but revelation. So how could anybody ever accept anyone else's opinion over this?
Why is it that the Prophet lined up the rows of men for prayers in the mosque separate from the women, and described the rows, as narrated by Abu Hurayrah by saying: “The best rows [in the mosque] are the first rows, and the worst are the last, and the best rows [in the mosque] for women are last the rows, and the worst are the first.” [Muslim]. This affirms the obligation of separating men from women, and keeping them far apart. If this is the way believing men and women should be during an act of worship inside the mosque, then how much more so is it necessary in places outside the mosques, where gatherings might include evil and sinful people along with the good people?
The Muslim nation must not slight these texts because the evil consequences which these texts are aiming to prevent society from still very much exist, and there is nothing that would prevent such evils from occurring in our time which did not exist at the time of the Prophet
Moreover, the people whom the Prophet addressed in these narrations were the best generation of the Muslim nation according to his own testimony, as was mentioned in many narrations. So, has the need for such texts and their warnings vanished in our time? Is it not a clear fact that in fact we need these texts and warnings even more than that generation did? This is especially so because of the dangers of evil in our time becoming more widespread and its means being more diverse.
It is usually the case that people honor any set of laws which they perceive as being beneficial to them, especially when these laws prevent evil or harm from befalling them when applied; moreover, people do not mind if these laws include certain restrictions on their freedom and impose penalties for those who disobey or transgress the defined limits. Why is it the case that some of those who believe in Allaah and His Messenger deal with Islamic Law with suspicion and uncertainty. Some of these people even go as far as to demand that it should be abolished, despite the fact that this Law includes all that which is beneficial to mankind and prevents, or at least reduces, all that which brings harm?
It is not permitted for anyone to discuss and pass judgment regarding this issue without having the proper Islamic knowledge to be able to do so. Nor should they base their discussion and opinion on unfounded claims with no evidence, or simply argue on the basis of their base desires. Rather, one should be sincere and free themselves from their base desires which will divert them far away from the truth. In addition, one must have a broad knowledge of Islam and possess the ability to differentiate between authentic and weak evidences, possess a clear understanding of the relevant evidences as well as the ability to properly extract Islamic rulings from these evidences; only then can a person become eligible to discuss this issue.
The outcome of what we say or write is the matter which we must fear the most, and are extremely wary of its consequence, as the Prophet , clarified to Mu’aath Ibn Jabal after he had asked with astonishment: "Will we be held responsible for all that we say?" The Prophet , replied: “What do you think makes people land on their faces or noses into the Hellfire more than the product of their tongues?” [Ahmad, Abu Daawood & At-Tirmithi].
http://www.islamweb.net/emainpage/index.php?page=ar5822
Friday, March 23, 2012
Saturday, March 10, 2012
CANTIKKU HANYA UNTUK SUAMIKU
Mempercantik diri bagiku sebagai seorang wanita adalah lumrah, sekalipun Allah telah menciptakan kaumku, Binti Hawa, dalam bentuk yang cantik lagi menarik, yang aku maksud dengan mempercantik diri adalah upaya untuk mempertahankan kecantikanku itu sebagai sebuah anugerah dari sang Maha Kuasa. Tetapi dalam hal ini aku tidak berlebih-lebihan dan memaksakan diri, wajar dan natural saja, aku tidak merasa perlu ke salon karena hal itu perlu ongkos yang kalau disedekahkan akan lebih berguna, atau buat beli jajan anak-anak saja, biar mereka lebih gembira, di samping itu di sana aku tidak merasa aman dari pandangan laki-laki asing, sekalipun salon tersebut katanya adalah salon khusus muslimah, tetapi siapa yang menjamin, aku teringat sebuah sabda Rasulullah saw yang intinya bahwa wanita manapun yang membuka pakaiannya bukan di rumah suaminya maka dia telah mencabik-cabik perlindungan Allah atas dirinya, naudzubillah, aku tidak mau hal itu menimpaku.
Aku merasa cukup dengan upayaku sendiri, caraku sendiri yang aku baca dari beberapa majalah wanita Islam atau tabloid, cara-cara alami dan natural dalam merawat kecantikan, misalnya dengan membuat masker dari buah-buahan: bengkoang, mentimun, alpukat dan buah-buah segar lainnya, aku melakukan itu secara berkala untuk untuk menjaga agar kulitku tetap segar, khususnya wajah agar tetap kencang dan menawan. Aku juga rajin membuat jus buah dan meminumnya, plus sayuran hijau yang kata ahli kesehatan bermanfaat bagi tubuh.
Bagiku menjaga kecantikan berarti menjaga kesehatan, mana bisa cantik kalau tidak sehat, ada satu rahasia yang ingin aku bagi kepada sesama Binti Hawa, aku berusaha menjaga kesehatan dengan selalu minum madu secara rutin, hampir tiada hari tanpa minum madu dan alhmadulillah aku tetap sehat, aku teringat sebuah ayat dalam al-Qur`an yang menyatakan bahwa madu adalah kesembuhan, dan aku pun teringat bahwa Rasulullah saw mengajak kaum muslimin untuk mencari kesembuhan pada madu, inilah yang memotivasiku untuk selalu minum madu.
Aku sadar bahwa cantik itu bersih, maka aku berusaha menjaga kebersihan tubuhku dengan mandi mininal pagi dan sore, memperhatikan daerah-daerah kotor dengan menggosoknya sebersih-bersihnya, kebersihan rambut aku jaga setiap dua atau tiga hari sekali, kebersihan mulut aku lakukan dengan berkumur pada saat berwudhu dan sebelum beranjak tidur sekaligus berwudhu dan sesudah bangun dari tidur dengan menggosok gigi. Kedua tangan dan kedua kakiku selalu aku cuci selesai melakukan atau memegang sesuatu, kuku-kuku keduanya tidak luput dari perhatianku, aku tidak suka merawat kuku tangan seperti yang dilakukan oleh sebagian kaumku sehingga ia panjang seperti kuku binatang buas, selain bisa menjadi sarang kuman juga bisa menghalangiku untuk melakukan beberapa aktifitas rumahku seperti mencuci dan lainnya, lebih dari semua itu bahwa yang demikian itu tidak sejalan dengan fitrah yang digariskan oleh Rasulullah saw.
Aku tahu bahwa cantik itu tidak sejalan dengan bau tubuh yang tidak sedap, untuk menjaga ini, selain aku mandi dengan benar secara rutin, aku juga membuang sarang bau tidak sedap pada tubuh, ketiak yang menjadi salah satu biang bau kurang sedap selalu menjadi perhatianku dengan membuang bulu yang tumbuh di sana, sebagai muslimah aku tahu Nabi saw menganjurkan hal itu, terkadang aku memakai satu dua semprotan pengharum badan selesai mandi dan aku yakin tidak akan keluar rumah, tetapi kalau aku yakin akan keluar rumah karena ada hajat untuk itu maka aku tidak memakainya, karena aku tahu agamaku melarangku sebagai wanita untuk meninggalkan rumahnya dalam keadaan tubuh berbau harum, aku tidak mau menjadi pemicu fitnah bagi kaum laki-laki.
Pakaian di rumah juga aku perhatikan, aku tidak boleh memakai baju yang kotor atau berbau apek, sekalipun koleksi baju rumahku tidak banyak, namun aku selalu menjaga agar bajuku tetap segar dan bersih, untuk urusan yang satu ini aku lebih cenderung kepada suami, maksudku pada saat membeli baju rumah, pendapat suamiku adalah nomor satu, jika dia bilang suka maka aku tersenyum mengiyakan, sebaliknya kalau dia tidak suka maka aku pun meninggalkannya, pada saat aku memakai sebuah baju, lalu suamiku memintaku untuk menggantinya dengan baju yang lain, maka aku akan menggantinya sekalipun ia masih bersih, toh tetap bisa dipakai ketika dia tidak rumah, aku tahu ada baju favorit bagi suamiku, dia paling suka kalau aku memakai baju tertentu, maka aku bersuaha sesering mungkin memakainya.
Aku juga tahu bahwa semua itu adalah kecantikan lahir, sekalipun penting namun tidak kalah dengannya adalah kecantikan sisi lain yaitu melalui akhlak mulia dan ilmu agama. Di mana cantiknya pada saat akhlak buruk menghiasi diri: ucapan dusta, ghibah, namimah, hasad, tamak dan akhlak buruk lainnya? Di mana cantiknya sebagai wanita muslimah kalau ternyata tidak mengerti perkara-perkara dasar dalam agamanya? Oleh karena itu aku selalu berusaha untuk menghiasi diri dengan akhlak dan budi pekerti mulia, plus upaya menambah ilmu agama melalu membaca, bertanya dan menghadiri majlis ilmu.
Satu hal yang ingin aku katakan kepada saudari-saudariku, bahwa aku melakukan semua itu adalah demi suamiku dan hanya untuk suamiku, ya cantikku memang hanya untukmu suamiku seorang, aku ingin tulus kepada suamiku, aku tidak ingin membagi sedikit pun dari kecantikanku kepada orang lain karena hal itu tidak patut, aku dan diriku hanya untuknya, maka demikian pula kecantikanku. Aku tidak ingin mengikuti sebagain wanita yang justru ingin terlihat cantik dengan berdandan habis manakala hendak keluar rumah untuk hajat ini dan itu, para wanita yang bersolek bukan untuk suaminya, aku melihat mereka adalah para istri yang tidak tulus kepada suami mereka, karena mereka telah membagi apa yang seharusnya menjadi hak murni suami kepada orang lain, kasihan suami mereka, tetapi bagaimana lagi, yang terjadi justru suami mereka memang mendiamkan atau mengizinkan. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)
Aku merasa cukup dengan upayaku sendiri, caraku sendiri yang aku baca dari beberapa majalah wanita Islam atau tabloid, cara-cara alami dan natural dalam merawat kecantikan, misalnya dengan membuat masker dari buah-buahan: bengkoang, mentimun, alpukat dan buah-buah segar lainnya, aku melakukan itu secara berkala untuk untuk menjaga agar kulitku tetap segar, khususnya wajah agar tetap kencang dan menawan. Aku juga rajin membuat jus buah dan meminumnya, plus sayuran hijau yang kata ahli kesehatan bermanfaat bagi tubuh.
Bagiku menjaga kecantikan berarti menjaga kesehatan, mana bisa cantik kalau tidak sehat, ada satu rahasia yang ingin aku bagi kepada sesama Binti Hawa, aku berusaha menjaga kesehatan dengan selalu minum madu secara rutin, hampir tiada hari tanpa minum madu dan alhmadulillah aku tetap sehat, aku teringat sebuah ayat dalam al-Qur`an yang menyatakan bahwa madu adalah kesembuhan, dan aku pun teringat bahwa Rasulullah saw mengajak kaum muslimin untuk mencari kesembuhan pada madu, inilah yang memotivasiku untuk selalu minum madu.
Aku sadar bahwa cantik itu bersih, maka aku berusaha menjaga kebersihan tubuhku dengan mandi mininal pagi dan sore, memperhatikan daerah-daerah kotor dengan menggosoknya sebersih-bersihnya, kebersihan rambut aku jaga setiap dua atau tiga hari sekali, kebersihan mulut aku lakukan dengan berkumur pada saat berwudhu dan sebelum beranjak tidur sekaligus berwudhu dan sesudah bangun dari tidur dengan menggosok gigi. Kedua tangan dan kedua kakiku selalu aku cuci selesai melakukan atau memegang sesuatu, kuku-kuku keduanya tidak luput dari perhatianku, aku tidak suka merawat kuku tangan seperti yang dilakukan oleh sebagian kaumku sehingga ia panjang seperti kuku binatang buas, selain bisa menjadi sarang kuman juga bisa menghalangiku untuk melakukan beberapa aktifitas rumahku seperti mencuci dan lainnya, lebih dari semua itu bahwa yang demikian itu tidak sejalan dengan fitrah yang digariskan oleh Rasulullah saw.
Aku tahu bahwa cantik itu tidak sejalan dengan bau tubuh yang tidak sedap, untuk menjaga ini, selain aku mandi dengan benar secara rutin, aku juga membuang sarang bau tidak sedap pada tubuh, ketiak yang menjadi salah satu biang bau kurang sedap selalu menjadi perhatianku dengan membuang bulu yang tumbuh di sana, sebagai muslimah aku tahu Nabi saw menganjurkan hal itu, terkadang aku memakai satu dua semprotan pengharum badan selesai mandi dan aku yakin tidak akan keluar rumah, tetapi kalau aku yakin akan keluar rumah karena ada hajat untuk itu maka aku tidak memakainya, karena aku tahu agamaku melarangku sebagai wanita untuk meninggalkan rumahnya dalam keadaan tubuh berbau harum, aku tidak mau menjadi pemicu fitnah bagi kaum laki-laki.
Pakaian di rumah juga aku perhatikan, aku tidak boleh memakai baju yang kotor atau berbau apek, sekalipun koleksi baju rumahku tidak banyak, namun aku selalu menjaga agar bajuku tetap segar dan bersih, untuk urusan yang satu ini aku lebih cenderung kepada suami, maksudku pada saat membeli baju rumah, pendapat suamiku adalah nomor satu, jika dia bilang suka maka aku tersenyum mengiyakan, sebaliknya kalau dia tidak suka maka aku pun meninggalkannya, pada saat aku memakai sebuah baju, lalu suamiku memintaku untuk menggantinya dengan baju yang lain, maka aku akan menggantinya sekalipun ia masih bersih, toh tetap bisa dipakai ketika dia tidak rumah, aku tahu ada baju favorit bagi suamiku, dia paling suka kalau aku memakai baju tertentu, maka aku bersuaha sesering mungkin memakainya.
Aku juga tahu bahwa semua itu adalah kecantikan lahir, sekalipun penting namun tidak kalah dengannya adalah kecantikan sisi lain yaitu melalui akhlak mulia dan ilmu agama. Di mana cantiknya pada saat akhlak buruk menghiasi diri: ucapan dusta, ghibah, namimah, hasad, tamak dan akhlak buruk lainnya? Di mana cantiknya sebagai wanita muslimah kalau ternyata tidak mengerti perkara-perkara dasar dalam agamanya? Oleh karena itu aku selalu berusaha untuk menghiasi diri dengan akhlak dan budi pekerti mulia, plus upaya menambah ilmu agama melalu membaca, bertanya dan menghadiri majlis ilmu.
Satu hal yang ingin aku katakan kepada saudari-saudariku, bahwa aku melakukan semua itu adalah demi suamiku dan hanya untuk suamiku, ya cantikku memang hanya untukmu suamiku seorang, aku ingin tulus kepada suamiku, aku tidak ingin membagi sedikit pun dari kecantikanku kepada orang lain karena hal itu tidak patut, aku dan diriku hanya untuknya, maka demikian pula kecantikanku. Aku tidak ingin mengikuti sebagain wanita yang justru ingin terlihat cantik dengan berdandan habis manakala hendak keluar rumah untuk hajat ini dan itu, para wanita yang bersolek bukan untuk suaminya, aku melihat mereka adalah para istri yang tidak tulus kepada suami mereka, karena mereka telah membagi apa yang seharusnya menjadi hak murni suami kepada orang lain, kasihan suami mereka, tetapi bagaimana lagi, yang terjadi justru suami mereka memang mendiamkan atau mengizinkan. Wallahu a’lam.
(Izzudin Karimi)
Thursday, December 1, 2011
Sunday, November 27, 2011
Bersediakah Anda Menjadi Suami?
Ditulis oleh Kapten Hafiz Firdaus Abdullah
Monday, 26 September 2011
Kebiasaan masyarakat kita apabila disebut persediaan menjadi suami, mereka menyangka ia adalah memiliki sijil pengajian tinggi, paling kurang diploma. Sudah memiliki kerjaya dengan gaji bulanan minima RM2500, diikuti dengan sebuah rumah dan kereta. Tidak ketinggalan, wang tunai berjumlah RM30,000 untuk urusan perkahwinan seperti duit hantaran, dulang-dulang hantaran, cincin dan belanja kenduri kahwin. Jika seorang lelaki belum memiliki semua ini, dia belum layak untuk bergelar suami.
Namun dalam Islam, ukuran persediaan untuk menjadi suami bukanlah seperti di atas. Persediaan untuk menjadi suami lebih tertumpu kepada kualiti lelaki tersebut dan inilah yang akan diperincikan dalam kolum bulan ini.
Kepimpinan.
Persediaan terpenting ialah bakal suami perlu mengetahui bahawa dia memiliki tanggungjawab sebagai pemimpin ke atas keluarganya. Allah berfirman: Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan. [al-Nisa’ 4:34]
Sebagai pemimpin, bakal suami hendaklah memiliki ilmu rumahtangga, akhlak yang menterjemah teori kepada praktikal, disiplin yang tinggi serta wawasan yang luas. Jika sebelum ini pernah menjadi pemimpin, seperti pemimpin kelab, persatuan, rombongan atau jabatan, maka ia adalah pengalaman yang boleh dikembangkan dalam kepimpinan rumahtangga.
Bagi yang belum pernah, maka alam rumahtangga adalah suasana yang baik untuk mula melatih diri menjadi pemimpin. Terasa sukar? Jangan bimbang. Lantiklah isteri anda menjadi timbalan pemimpin untuk bersama-sama saling membantu mengemudi bahtera rumahtangga.
Di sini perlu diingatkan bahawa kepimpinan anda sentiasa dicatit markahnya oleh malaikat di bahu kanan dan kiri. Oleh itu berwaspadalah, jangan menjadi pemimpin yang ego dan zalim. Setiap langkah dan ciri kepimpinan anda akan dipersoalkan semula oleh Allah pada Hari Akhirat kelak.
Ketegasan.
Lanjutan dari ciri seorang pemimpin, bakal suami hendaklah tegas dalam membimbing isteri. Kelak apabila dianugerahkan cahaya mata, suami juga hendaklah tegas dalam membimbing anak-anak. Allah mengingatkan:
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya ada di antara isteri-isteri kamu dan anak-anak kamu yang menjadi musuh bagi kamu; oleh itu awaslah serta berjaga-jagalah kamu terhadap mereka.
Dan kalau kamu memaafkan dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka (maka Allah akan berbuat demikian kepada kamu), kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Taghabun 64:14]
Oleh itu dalam institusi perkahwinan, suami adalah pemimpin dan bukan yang dipimpin, penjaga dan bukannya dijaga serta pengawal dan bukannya dikawal. Namun ketegasan bukanlah bererti bengis dan menakutkan, sebaliknya hendaklah bersikap …memaafkan dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka.
Pemelihara Dari Api Neraka.
Suami merupakan pemelihara agar ahli keluarga tidak masuk ke dalam api neraka. Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: Manusia dan batu (berhala); Neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan. [al-Tahrim 66:06]
Justeru anda perlu melengkapkan diri dengan ilmu-ilmu agama dan seterusnya mendidik ahli keluarga serta memastikan mereka mempraktikannya. Lebih penting, anda hendaklah paling kehadapan dalam mempraktikkan ilmu-ilmu agama tersebut. Jangan sekadar menyuruh ahli keluarga mendirikan solat tetapi anda tidak solat, jangan sekadar menyuruh ahli keluarga menutup aurat tetapi anda mendedahkan aurat. Allah memberi amaran:
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu memperkatakan apa yang kamu tidak melakukannya! Amat besar kebenciannya di sisi Allah kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak melakukannya. [al-Saff 61:2-3]
Memberi Nafkah.
Termasuk persediaan menjadi suami ialah kesedaran bahawa anda merupakan sumber kewangan rumahtangga. Justeru anda bertanggungjawab menyediakan nafkah tempat tinggal, keperluan asas dalam tempat tinggal, pakaian, makanan dan minuman kepada ahli keluarganya. Anda juga bertanggungjawab ke atas kesihatan dan perubatan ahli keluarga seandainya mereka jatuh sakit.
Meskipun nafkah rumahtangga berada di atas bahu suami, ini tidaklah bererti suami mesti memiliki pendapat minima yang tertentu jumlahnya. Setiap suami memiliki kemampuan kewangan yang berbeza dan setiap suami berbelanja untuk ahli keluarganya pada kadar kemampuannya. Tidak ada nilai minimum atau maksimum untuk kadar nafkah ini.
Allah berfirman: Hendaklah orang (suami) yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan sesiapa yang di sempitkan rezekinya, maka hendaklah dia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar yang mampu). [al-Thalaq 65:07]
Demikianlah beberapa kualiti yang perlu ada pada seorang lelaki untuk dia menjadi seorang suami. Perhatikan bahawa kualiti-kualiti ini tidak ada ukuran minimum dan maksimum atau batasan tertentu bagi menentukan layak atau tidak. Ia adalah kualiti yang nilainya relatif, ia akan bertambah apabila anda berusaha untuk memperbaikinya dan akan berkurang apabila anda mengabaikannya.
Justeru lelaki yang sudah bersedia menjadi suami ialah lelaki yang mengetahui kualiti-kualiti ini, memilikinya dan berazam untuk terus memperbaikinya.
Monday, 26 September 2011
Kebiasaan masyarakat kita apabila disebut persediaan menjadi suami, mereka menyangka ia adalah memiliki sijil pengajian tinggi, paling kurang diploma. Sudah memiliki kerjaya dengan gaji bulanan minima RM2500, diikuti dengan sebuah rumah dan kereta. Tidak ketinggalan, wang tunai berjumlah RM30,000 untuk urusan perkahwinan seperti duit hantaran, dulang-dulang hantaran, cincin dan belanja kenduri kahwin. Jika seorang lelaki belum memiliki semua ini, dia belum layak untuk bergelar suami.
Namun dalam Islam, ukuran persediaan untuk menjadi suami bukanlah seperti di atas. Persediaan untuk menjadi suami lebih tertumpu kepada kualiti lelaki tersebut dan inilah yang akan diperincikan dalam kolum bulan ini.
Kepimpinan.
Persediaan terpenting ialah bakal suami perlu mengetahui bahawa dia memiliki tanggungjawab sebagai pemimpin ke atas keluarganya. Allah berfirman: Kaum lelaki itu adalah pemimpin dan pengawal yang bertanggungjawab terhadap kaum perempuan, oleh kerana Allah telah melebihkan orang-orang lelaki (dengan beberapa keistimewaan) atas orang-orang perempuan. [al-Nisa’ 4:34]
Sebagai pemimpin, bakal suami hendaklah memiliki ilmu rumahtangga, akhlak yang menterjemah teori kepada praktikal, disiplin yang tinggi serta wawasan yang luas. Jika sebelum ini pernah menjadi pemimpin, seperti pemimpin kelab, persatuan, rombongan atau jabatan, maka ia adalah pengalaman yang boleh dikembangkan dalam kepimpinan rumahtangga.
Bagi yang belum pernah, maka alam rumahtangga adalah suasana yang baik untuk mula melatih diri menjadi pemimpin. Terasa sukar? Jangan bimbang. Lantiklah isteri anda menjadi timbalan pemimpin untuk bersama-sama saling membantu mengemudi bahtera rumahtangga.
Di sini perlu diingatkan bahawa kepimpinan anda sentiasa dicatit markahnya oleh malaikat di bahu kanan dan kiri. Oleh itu berwaspadalah, jangan menjadi pemimpin yang ego dan zalim. Setiap langkah dan ciri kepimpinan anda akan dipersoalkan semula oleh Allah pada Hari Akhirat kelak.
Ketegasan.
Lanjutan dari ciri seorang pemimpin, bakal suami hendaklah tegas dalam membimbing isteri. Kelak apabila dianugerahkan cahaya mata, suami juga hendaklah tegas dalam membimbing anak-anak. Allah mengingatkan:
Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya ada di antara isteri-isteri kamu dan anak-anak kamu yang menjadi musuh bagi kamu; oleh itu awaslah serta berjaga-jagalah kamu terhadap mereka.
Dan kalau kamu memaafkan dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka (maka Allah akan berbuat demikian kepada kamu), kerana sesungguhnya Allah Maha Pengampun, lagi Maha Mengasihani. [al-Taghabun 64:14]
Oleh itu dalam institusi perkahwinan, suami adalah pemimpin dan bukan yang dipimpin, penjaga dan bukannya dijaga serta pengawal dan bukannya dikawal. Namun ketegasan bukanlah bererti bengis dan menakutkan, sebaliknya hendaklah bersikap …memaafkan dan tidak marahkan (mereka) serta mengampunkan kesalahan mereka.
Pemelihara Dari Api Neraka.
Suami merupakan pemelihara agar ahli keluarga tidak masuk ke dalam api neraka. Firman Allah: Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari neraka yang bahan-bahan bakarannya: Manusia dan batu (berhala); Neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan. [al-Tahrim 66:06]
Justeru anda perlu melengkapkan diri dengan ilmu-ilmu agama dan seterusnya mendidik ahli keluarga serta memastikan mereka mempraktikannya. Lebih penting, anda hendaklah paling kehadapan dalam mempraktikkan ilmu-ilmu agama tersebut. Jangan sekadar menyuruh ahli keluarga mendirikan solat tetapi anda tidak solat, jangan sekadar menyuruh ahli keluarga menutup aurat tetapi anda mendedahkan aurat. Allah memberi amaran:
Wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu memperkatakan apa yang kamu tidak melakukannya! Amat besar kebenciannya di sisi Allah kamu memperkatakan sesuatu yang kamu tidak melakukannya. [al-Saff 61:2-3]
Memberi Nafkah.
Termasuk persediaan menjadi suami ialah kesedaran bahawa anda merupakan sumber kewangan rumahtangga. Justeru anda bertanggungjawab menyediakan nafkah tempat tinggal, keperluan asas dalam tempat tinggal, pakaian, makanan dan minuman kepada ahli keluarganya. Anda juga bertanggungjawab ke atas kesihatan dan perubatan ahli keluarga seandainya mereka jatuh sakit.
Meskipun nafkah rumahtangga berada di atas bahu suami, ini tidaklah bererti suami mesti memiliki pendapat minima yang tertentu jumlahnya. Setiap suami memiliki kemampuan kewangan yang berbeza dan setiap suami berbelanja untuk ahli keluarganya pada kadar kemampuannya. Tidak ada nilai minimum atau maksimum untuk kadar nafkah ini.
Allah berfirman: Hendaklah orang (suami) yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya dan sesiapa yang di sempitkan rezekinya, maka hendaklah dia memberi nafkah dari apa yang diberikan Allah kepadanya (sekadar yang mampu). [al-Thalaq 65:07]
Demikianlah beberapa kualiti yang perlu ada pada seorang lelaki untuk dia menjadi seorang suami. Perhatikan bahawa kualiti-kualiti ini tidak ada ukuran minimum dan maksimum atau batasan tertentu bagi menentukan layak atau tidak. Ia adalah kualiti yang nilainya relatif, ia akan bertambah apabila anda berusaha untuk memperbaikinya dan akan berkurang apabila anda mengabaikannya.
Justeru lelaki yang sudah bersedia menjadi suami ialah lelaki yang mengetahui kualiti-kualiti ini, memilikinya dan berazam untuk terus memperbaikinya.
Wednesday, November 16, 2011
Jilbab Menurut Islam, Kristen Dan Yahudi: Mitos Dan Realita
Marilah kita buka satu persoalan yang di negara-negara Barat dianggap sebagai simbol dari penindasan dan perbudakan wanita, yaitu jilbab atau tudung kepala. Apakah betul tidak terdapat pembahasan mengenai jilbab di dalam tradisi Jahudi-Kristen ? Mari kita lihat bukti catatan yang ada. Menurut Rabbi Dr. Menachem M. Brayer, Professor Literatur Injil pada Universitas Yeshiva dalam bukunya, The Jewish woman in Rabbinic Literature, menulis bahwa baju bagi wanita Yahudi saat bepergian keluar rumah yaitu mengenakan penutup kepala yang terkadang bahkan harus menutup hampir seluruh muka dan hanya meninggalkan sebelah mata saja. Beliau disana mengutip pernyataan beberapa Rabbi (pendeta Yahudi) kuno yang terkenal: "Bukanlah layaknya anak-anak perempuan Israel yang berjalan keluar tanpa penutup kepala" dan "Terkutuklah laki-laki yang membiarkan rambut isterinya terlihat," dan "Wanita yang membiarkan rambutnya terbuka untuk berdandan membawa kemelaratan."
Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap "telanjang". Dr. Brayer juga mengatakan bahwa "Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut."
Dr. Brayer juga menerangkan bahwa jilbab bagi wanita Yahudi bukanlah selalu sebagai simbol dari kesopanan. Kadang-kadang, jilbab justru menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya ketimbang ukuran kesopanan. Jilbab atau tudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Jilbab juga diartikan sebagai penjagaan terhadap hak milik suami.
Jilbab menunjukkan suatu penghormatan dan status sosial dari seorang wanita. Seorang wanita dari golongan bawah mencoba menggunakan jilbab untuk memberikan kesan status yang lebih tinggi. Jilbab merupakan tanda kehormatan. Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237). Wanita-wanita Yahudi di Eropa melanjutkan menggunakan jilbab sampai abad ke sembilan belas hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Tekanan eksternal dari kehidupan di Eropa pada abad sembilan belas memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala.
Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi) (S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239). Sementara beberapa dari mereka. seperti sekte Hasidic, masih menggunakan rambut palsu (Alexandra Wright, 19??, hal 128-129).
Bagaimanakah jilbab menurut tradisi Kristen?
Kita sendiri menyaksikan sampai hari ini bahwa para Biarawati Katolik menutup kepalanya yang suruhannya sebetulnya telah ada semenjak empat ratus tahun yang lalu. Tetapi bukan hanya itu, St. Paul (atau Paulus) dalam Perjanjian Baru, I Korintus 11:3-10, membuat pernyataan-pernyataan yang menarik tentang jilbab sebagai berikut: "Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan kepala Kristus adalah Allah. Tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga mengguting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan dicipt akan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena malaikat". (I Korintus 11:3-10).
St. Paul memberikan penalaran tentang wanita yang berjilbab atau berkerudung adalah bahwa jilbab memberikan tanda kekuasaan pada laki-laki, yang merupakan gambaran kebesaran Tuhan, atas wanita yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. St. Tertulian di dalam risalahnya "On The Veiling Of Virgins" menulis: "Wanita muda hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu."
Di antara hukum-hukum Canon pada Gereja Katolik dewasa ini, ada hukum yang memerintahkan wanita menutup kepalanya di dalam gereja (Clara M Henning, 1974, hal 272). Beberapa golongan Kristen, seperti Amish dan Mennoties contohnya, mereka hingga hari ini tetap mengenakan tutup kepala. Alasan mereka mengenakan tutup kepala, seperti yang dikemukakan pemimpin gerejanya adalah: "Penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan," logika yang sama seperti yang ditulis oleh St. Paul dalam Perjanjian Baru (D. Kraybill, 1960, hal 56).
Dari semua bukti-bukti di atas, nyata bahwa Islam bukanlah agama yang mengada-adakan dan mewajibkan penutup kepala, tetapi Islam telah mendukung hukum tersebut. Al Qur'an memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Juga memerintahkan wanita beriman agar memanjangkan penutup kepalanya sampai menutupi leher dan dadanya.
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat..... Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya..." (An Nuur:30,31)
Di dalam Al Qur'an jelas tertulis bahwa kerudung sangat penting untuk menutup aurat. Mengapa aurat itu penting ? Hal itu dijelaskan dalam Al Qur'an surat Al Ahzab 59: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." (Al Ahzab:59)
Pada intinya, kesederhanaan digambarkan untuk melindungi wanita dari gangguan atau mudahnya, kesederhanaan adalah perlindungan.
Jadi, tujuan utama dari jilbab atau kerudung di dalam Islam adalah perlindungan. Kerudung di dalam Islam tidak sama seperti di dalam tradisi Kristen dimana merupakan tanda bahwa martabat laki-laki berada di atas wanita dan merupakan simbolisasi tunduknya wanita terhadap laki-laki. Kerudung di dalam Islam juga bukan seperti di dalam tradisi Yahudi dimana kerudung merupakan tanda keagungan dan tanda pembeda sebagai wanita bangsawan yang menikah. Kerudung di dalam Islam hanya sebagai tanda kesederhanaan dengan tujuan melindungi wanita, tepatnya semua wanita. Pada falsafah Islam dikenali prinsip bahwa selalu lebih baik menjaga daripada menyesal kemudian. Al Qur'an sangat
memperhatikan wanita dengan menjaga tubuh mereka dan kehormatan mereka atas pernyataan laki-laki yang berani menuduh ketidaksucian seorang wanita, mereka akan mendapat balasan;
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (mereka yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An Nuur 4)
Bandingkan sikap Al Qur'an yang sangat tegas, dengan hukuman yang sangat longgar bagi pemerkosa di dalam Injil:
"If a man find a damsel that is a virgin, which is not betrothed, and there was none to save her. Then the man that lay with her shall give unto the damsel's father fifty shekels of silver, and she shall be his wife; because he hath humbled her, he may not put her away all his days" (Deut. 22:28-29).
Terjemahannya:
"Jika seorang laki-laki menemui seorang gadis yang tidak dijanjikan untuk dinikahkan kemudian memperkosanya, dia harus membayar sebesar lima puluh shekels perak kepada ayah gadis itu. Laki-laki itu harus menikahi gadis tersebut karena perbuatannya dan dia tidak boleh menceraikannya selama hidupnya" (Ulangan. 22:28-29).
Patut ditanyakan, siapa yang sebenarnya dihukum dalam hal ini? Orang yang membayar denda karena telah memperkosa ataukah gadis yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang memperkosanya dan harus tinggal bersamanya sampai dia mati ? Pertanyaan lainnya: Mana yang lebih melindung seorang wanita sikap tegas Al Qur'an atau sikap kendor moral (lax) daripada Injil ?
Beberapa kalangan, terutama di belahan negara-negara Barat, mungkin cenderung untuk menertawakan bahwa kesederhanaan (modesty) berguna untuk perlindungan. Alasan mereka adalah perlindungan yang terbaik yaitu memperluaskan pendidikan, berperilaku yang sopan, dan pengendalian diri. Kami akan mengatakan: semua itu baik tapi tidak cukup.
Jika tindakan yang ada dipandang perlindungan yang sudah cukup, lalu mengapa wanita-wanita di Amerika Utara saat ini tidak berani berjalan sendirian di kegelapan atau bahkan cemas melewati tempat parkir yang sepi ?. Jika pendidikan adalah suatu penyelesaian lalu mengapa Universitas Queen yang terkenal pelayanan pendidikannya terpaksa harus mengantar pulang para mahasiswi di dalam kampus ?. Jika pengendalian diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus pelecehan sex di tempat kerja diberitakan di media masa nyaris setiap hari ?. Contohnya, yang tertuduh melakukan pelecehan sex dalam beberapa tahun terakhir: para perwira Angkatan Laut, Manager-manager, Professor-professor, Senators, Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justices), dan bahkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton sendiri !
Saya tercengang saat saya membaca statistik yang ditulis dalam sebuah pamflet yang dikeluarkan oleh Dean of women's office di Universitas Queen berikut :
· Di Canada, setiap 6 menit ada seorang wanita yang mengalami pelanggaran sexual.
· 1 dari 3 wanita di Canada akan mengalami pelanggaran sexual pada suatu saat dalam kehidupannya.
· 1 dari 4 wanita berada dalam resiko diperkosa atau usaha pemerkosaan dalam kehidupannya.
· 1 dari 8 wanita akan mengalami pelanggaran sexual saat menjadi mahasiswi unitersitas.
· Sebuah penelitian menemukan bahwa 60% dari mahasiswa laki-laki mengatakan mereka akan berbuat pelanggaran seksual jika mereka yakin mereka tidak ditangkap.
Ada sesuatu yang secara fundamental amat sangat keliru di masyarakat kita ini [negara Barat, penerjemah] Suatu perubahan yang radikal sangat perlu dilakukan di dalam gaya hidup dan budaya kita ini. Budaya hidup sederhana (modesty) teramat sangat dibutuhkan.Sederhana dalam berpakaian, dalam bertutur kata, dan dalam sopan santun berhubungan antara pria dan wanita. Kalau perubahan tidak dilakukan, maka angka-angka statistik yang kelabu di atas akan makin suram dari hari ke hari hingga benar-benar semuanya terjerembab dalam kegelapan. Dan sialnya, penanggung beban masyarakat yang paling berat adalah para wanita.
Sesungguhnya kita semua menderita sebagaimana Khalil Gibran (sastrawan nasrani dari Libanon, penerjemah) pernah mengatakan: "...for the person who receives the blows is not like the one who counts them." (Khalil Gibran, 1960, hal 56). Oleh sebab itu, sebuah masyarakat seperti Perancis yang pernah mengusir seorang gadis dari sekolahnya lantaran si gadis menampilkan kesederhaan dengan mengenakan tudung, sesungguhnya hanyalah tindakan yang mencelakakan masyarakat itu sendiri.
Adalah sebuah ironi maha besar di dalam dunia yang kita tinggali saat ini. Secarik tudung penutup kepala mereka katakan sebagai simbol 'kesucian' saat dikenakan oleh seorang biarawati Katolik, padahal dalam ajaran Kristiani hal itu untuk menunjukkan kekuasaan pria. Namun apabila secarik tudung kepala tersebut dikenakan oleh seorang muslimah untuk keperluan melindungi diri, justru dituduh sebagai simbol penindasan pria atas wanita! []
Catatan Redaksi: Artikel berikut adalah salah satu bab dari buku kecil karangan Dr. Sherif Abdel Azeem, seorang professor di Queen University, Ontario, Canada. Judul bukunya (terbitan 1996) adalah Women in Islam versus Women in the Judaeo-Christian Tradition; The Myth and The Reality. Hak Cipta ada pada pengarang dimana beliau mengijinkan untuk penyalinan dan terjemahan sepanjang tidak mengurangi isinya.
Terjemahan ke bahasa Indonesia dilakukan oleh Ria Amirul. Saat diterjemahkan, naskah asli bisa di-download dari situs http://www.stanford.edu/group/issu.
Sumber: http://www.muslimdaily.net/wanita/4325/jilbab-menurut-islamkristen-dan-yahudimitos-dan-realita
Hukum Rabbi melarang pemberian berkat dan doa kepada wanita menikah yang tidak menutup kepalanya karena rambut yang tidak tertutup dianggap "telanjang". Dr. Brayer juga mengatakan bahwa "Selama masa Tannaitic, wanita Yahudi yang tidak menggunakan penutup kepala dianggap penghinaan terhadap kesopanannya. Jika kepalanya tidak tertutup dia bisa dikenai denda sebanyak empat ratus zuzim untuk pelanggaran tersebut."
Dr. Brayer juga menerangkan bahwa jilbab bagi wanita Yahudi bukanlah selalu sebagai simbol dari kesopanan. Kadang-kadang, jilbab justru menyimbolkan kondisi yang membedakan status dan kemewahan yang dimiliki wanita yang mengenakannya ketimbang ukuran kesopanan. Jilbab atau tudung kepala menandakan martabat dan keagungan seorang wanita bangsawan Yahudi. Jilbab juga diartikan sebagai penjagaan terhadap hak milik suami.
Jilbab menunjukkan suatu penghormatan dan status sosial dari seorang wanita. Seorang wanita dari golongan bawah mencoba menggunakan jilbab untuk memberikan kesan status yang lebih tinggi. Jilbab merupakan tanda kehormatan. Oleh karena itu di masyarakat Yahudi kuno, pelacur-pelacur tidak diperbolehkan menutup kepalanya. Tetapi pelacur-pelacur sering memakai penutup kepala agar mereka lebih dihormati (S.W.Schneider, 1984, hal 237). Wanita-wanita Yahudi di Eropa melanjutkan menggunakan jilbab sampai abad ke sembilan belas hingga mereka bercampur baur dengan budaya sekuler. Tekanan eksternal dari kehidupan di Eropa pada abad sembilan belas memaksa banyak dari mereka pergi keluar tanpa penutup kepala.
Beberapa wanita Yahudi kemudian lebih cenderung menggantikan penutup tradisional mereka dengan rambut palsu sebagai bentuk lain dari penutup kepala. Dewasa ini, wanita-wanita Yahudi yang saleh tidak pernah memakai penutup kepala kecuali bila mereka mengunjungi sinagog (gereja Yahudi) (S.W.Schneider, 1984, hal. 238-239). Sementara beberapa dari mereka. seperti sekte Hasidic, masih menggunakan rambut palsu (Alexandra Wright, 19??, hal 128-129).
Bagaimanakah jilbab menurut tradisi Kristen?
Kita sendiri menyaksikan sampai hari ini bahwa para Biarawati Katolik menutup kepalanya yang suruhannya sebetulnya telah ada semenjak empat ratus tahun yang lalu. Tetapi bukan hanya itu, St. Paul (atau Paulus) dalam Perjanjian Baru, I Korintus 11:3-10, membuat pernyataan-pernyataan yang menarik tentang jilbab sebagai berikut: "Tetapi aku mau, supaya kamu mengetahui hal ini, yaitu Kepala dari tiap laki-laki adalah Kristus, kepala dari perempuan adalah laki-laki dan kepala Kristus adalah Allah. Tiap laki-laki yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang bertudung, menghina kepalanya. Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga mengguting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya. Sebab laki-laki tidak perlu menudungi kepalanya: ia menyinarkan kemuliaan Allah. Tetapi perempuan menyinarkan kemuliaan laki-laki. Sebab laki-laki tidak berasal dari perempuan, tetapi perempuan berasal dari laki-laki. Dan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan dicipt akan karena laki-laki. Sebab itu, perempuan harus memakai tanda wibawa di kepalanya oleh karena malaikat". (I Korintus 11:3-10).
St. Paul memberikan penalaran tentang wanita yang berjilbab atau berkerudung adalah bahwa jilbab memberikan tanda kekuasaan pada laki-laki, yang merupakan gambaran kebesaran Tuhan, atas wanita yang diciptakan dari dan untuk laki-laki. St. Tertulian di dalam risalahnya "On The Veiling Of Virgins" menulis: "Wanita muda hendaklah engkau mengenakan kerudung saat berada di jalan, demikian pula hendaknya engkau mengenakan di dalam gereja, mengenakannya saat berada di antara orang asing dan mengenakannya juga saat berada di antara saudara laki-lakimu."
Di antara hukum-hukum Canon pada Gereja Katolik dewasa ini, ada hukum yang memerintahkan wanita menutup kepalanya di dalam gereja (Clara M Henning, 1974, hal 272). Beberapa golongan Kristen, seperti Amish dan Mennoties contohnya, mereka hingga hari ini tetap mengenakan tutup kepala. Alasan mereka mengenakan tutup kepala, seperti yang dikemukakan pemimpin gerejanya adalah: "Penutup kepala adalah simbol dari kepatuhan wanita kepada laki-laki dan Tuhan," logika yang sama seperti yang ditulis oleh St. Paul dalam Perjanjian Baru (D. Kraybill, 1960, hal 56).
Dari semua bukti-bukti di atas, nyata bahwa Islam bukanlah agama yang mengada-adakan dan mewajibkan penutup kepala, tetapi Islam telah mendukung hukum tersebut. Al Qur'an memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan yang beriman untuk menahan pandangannya dan menjaga kemaluannya. Juga memerintahkan wanita beriman agar memanjangkan penutup kepalanya sampai menutupi leher dan dadanya.
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat..... Katakanlah kepada wanita yang beriman : "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak darinya. Dan hendaklah mereka menutup kain kerudung ke dadanya..." (An Nuur:30,31)
Di dalam Al Qur'an jelas tertulis bahwa kerudung sangat penting untuk menutup aurat. Mengapa aurat itu penting ? Hal itu dijelaskan dalam Al Qur'an surat Al Ahzab 59: "Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu'min: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu." (Al Ahzab:59)
Pada intinya, kesederhanaan digambarkan untuk melindungi wanita dari gangguan atau mudahnya, kesederhanaan adalah perlindungan.
Jadi, tujuan utama dari jilbab atau kerudung di dalam Islam adalah perlindungan. Kerudung di dalam Islam tidak sama seperti di dalam tradisi Kristen dimana merupakan tanda bahwa martabat laki-laki berada di atas wanita dan merupakan simbolisasi tunduknya wanita terhadap laki-laki. Kerudung di dalam Islam juga bukan seperti di dalam tradisi Yahudi dimana kerudung merupakan tanda keagungan dan tanda pembeda sebagai wanita bangsawan yang menikah. Kerudung di dalam Islam hanya sebagai tanda kesederhanaan dengan tujuan melindungi wanita, tepatnya semua wanita. Pada falsafah Islam dikenali prinsip bahwa selalu lebih baik menjaga daripada menyesal kemudian. Al Qur'an sangat
memperhatikan wanita dengan menjaga tubuh mereka dan kehormatan mereka atas pernyataan laki-laki yang berani menuduh ketidaksucian seorang wanita, mereka akan mendapat balasan;
"Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah (mereka yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik." (QS. An Nuur 4)
Bandingkan sikap Al Qur'an yang sangat tegas, dengan hukuman yang sangat longgar bagi pemerkosa di dalam Injil:
"If a man find a damsel that is a virgin, which is not betrothed, and there was none to save her. Then the man that lay with her shall give unto the damsel's father fifty shekels of silver, and she shall be his wife; because he hath humbled her, he may not put her away all his days" (Deut. 22:28-29).
Terjemahannya:
"Jika seorang laki-laki menemui seorang gadis yang tidak dijanjikan untuk dinikahkan kemudian memperkosanya, dia harus membayar sebesar lima puluh shekels perak kepada ayah gadis itu. Laki-laki itu harus menikahi gadis tersebut karena perbuatannya dan dia tidak boleh menceraikannya selama hidupnya" (Ulangan. 22:28-29).
Patut ditanyakan, siapa yang sebenarnya dihukum dalam hal ini? Orang yang membayar denda karena telah memperkosa ataukah gadis yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki yang memperkosanya dan harus tinggal bersamanya sampai dia mati ? Pertanyaan lainnya: Mana yang lebih melindung seorang wanita sikap tegas Al Qur'an atau sikap kendor moral (lax) daripada Injil ?
Beberapa kalangan, terutama di belahan negara-negara Barat, mungkin cenderung untuk menertawakan bahwa kesederhanaan (modesty) berguna untuk perlindungan. Alasan mereka adalah perlindungan yang terbaik yaitu memperluaskan pendidikan, berperilaku yang sopan, dan pengendalian diri. Kami akan mengatakan: semua itu baik tapi tidak cukup.
Jika tindakan yang ada dipandang perlindungan yang sudah cukup, lalu mengapa wanita-wanita di Amerika Utara saat ini tidak berani berjalan sendirian di kegelapan atau bahkan cemas melewati tempat parkir yang sepi ?. Jika pendidikan adalah suatu penyelesaian lalu mengapa Universitas Queen yang terkenal pelayanan pendidikannya terpaksa harus mengantar pulang para mahasiswi di dalam kampus ?. Jika pengendalian diri adalah jawabannya, lalu mengapa kasus pelecehan sex di tempat kerja diberitakan di media masa nyaris setiap hari ?. Contohnya, yang tertuduh melakukan pelecehan sex dalam beberapa tahun terakhir: para perwira Angkatan Laut, Manager-manager, Professor-professor, Senators, Pengadilan Tinggi (Supreme Court Justices), dan bahkan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton sendiri !
Saya tercengang saat saya membaca statistik yang ditulis dalam sebuah pamflet yang dikeluarkan oleh Dean of women's office di Universitas Queen berikut :
· Di Canada, setiap 6 menit ada seorang wanita yang mengalami pelanggaran sexual.
· 1 dari 3 wanita di Canada akan mengalami pelanggaran sexual pada suatu saat dalam kehidupannya.
· 1 dari 4 wanita berada dalam resiko diperkosa atau usaha pemerkosaan dalam kehidupannya.
· 1 dari 8 wanita akan mengalami pelanggaran sexual saat menjadi mahasiswi unitersitas.
· Sebuah penelitian menemukan bahwa 60% dari mahasiswa laki-laki mengatakan mereka akan berbuat pelanggaran seksual jika mereka yakin mereka tidak ditangkap.
Ada sesuatu yang secara fundamental amat sangat keliru di masyarakat kita ini [negara Barat, penerjemah] Suatu perubahan yang radikal sangat perlu dilakukan di dalam gaya hidup dan budaya kita ini. Budaya hidup sederhana (modesty) teramat sangat dibutuhkan.Sederhana dalam berpakaian, dalam bertutur kata, dan dalam sopan santun berhubungan antara pria dan wanita. Kalau perubahan tidak dilakukan, maka angka-angka statistik yang kelabu di atas akan makin suram dari hari ke hari hingga benar-benar semuanya terjerembab dalam kegelapan. Dan sialnya, penanggung beban masyarakat yang paling berat adalah para wanita.
Sesungguhnya kita semua menderita sebagaimana Khalil Gibran (sastrawan nasrani dari Libanon, penerjemah) pernah mengatakan: "...for the person who receives the blows is not like the one who counts them." (Khalil Gibran, 1960, hal 56). Oleh sebab itu, sebuah masyarakat seperti Perancis yang pernah mengusir seorang gadis dari sekolahnya lantaran si gadis menampilkan kesederhaan dengan mengenakan tudung, sesungguhnya hanyalah tindakan yang mencelakakan masyarakat itu sendiri.
Adalah sebuah ironi maha besar di dalam dunia yang kita tinggali saat ini. Secarik tudung penutup kepala mereka katakan sebagai simbol 'kesucian' saat dikenakan oleh seorang biarawati Katolik, padahal dalam ajaran Kristiani hal itu untuk menunjukkan kekuasaan pria. Namun apabila secarik tudung kepala tersebut dikenakan oleh seorang muslimah untuk keperluan melindungi diri, justru dituduh sebagai simbol penindasan pria atas wanita! []
Catatan Redaksi: Artikel berikut adalah salah satu bab dari buku kecil karangan Dr. Sherif Abdel Azeem, seorang professor di Queen University, Ontario, Canada. Judul bukunya (terbitan 1996) adalah Women in Islam versus Women in the Judaeo-Christian Tradition; The Myth and The Reality. Hak Cipta ada pada pengarang dimana beliau mengijinkan untuk penyalinan dan terjemahan sepanjang tidak mengurangi isinya.
Terjemahan ke bahasa Indonesia dilakukan oleh Ria Amirul. Saat diterjemahkan, naskah asli bisa di-download dari situs http://www.stanford.edu/group/issu.
Sumber: http://www.muslimdaily.net/wanita/4325/jilbab-menurut-islamkristen-dan-yahudimitos-dan-realita
Thursday, October 27, 2011
Thursday, October 20, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)